Sajarwa dan Kecintaannya Terhadap Sastra Prancis

1125

Lebih Puas Melakukan Riset

Mengembangkan keilmuan bukan sesuatu hal yang mudah. Diceritakan oleh Sajarwa, di masa-masa awal kuliahnya pada 1981, Sastra Prancis UGM masih dalam tahap berkembang.

Efisiensi waktu kuliah yang masih kurang, ketersediaan tenaga kerja yang masih minim, dan kurikulum yang saat itu belum tersusun dengan baik, menjadi dorongan bagi Sajarwa untuk mengabdi di UGM.

Di sisi lain, saling bantu mengerjakan tugas kuliah yang sulit menjadi sesuatu yang menyenangkan.

Sajarwa dan teman-teman banyak belajar sendiri ketimbang kuliah.

Dari momen ini, rasa cinta terhadap Sastra Prancis justru semakin terpupuk dalam diri Sajarwa.

Bukti kecintaannya ini juga ia tuangkan dengan aktif di kegiatan Himpunan Mahasiswa Sastra Prancis (HMSP) UGM.

Adapun kegiatan di luar kuliah lain yang diikuti Sajarwa yakni senat fakultas dan kegiatan keagamaan.

Satu kesan di masa kuliah yang tak pernah dilupakan oleh Sajarwa, saat ia mengikuti kuliah dengan salah satu dosen asing.

“Beliau sangat mengedepankan kedisiplinan dan keseriusan.”

“Kalau tidak serius, lebih baik tidak melakukan, ini membekas di hati kami,” ungkap pria kelahiran 58 tahun lalu itu.

Berangkat dari pengalaman ini, Sajarwa menyatakan bahwa pendidikan softskill penting.

Tiga hal yang harus diutamakan yatu atitude, keterampilan, kemudian knowledge.

Ini yang kemudian menjadi bahan desain kurikulum.

Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di tingkat fakultas atau yang biasa disebut dengan Badan Semi Otonom (BSO), dalam pelaksanaannya mahasiswa digembleng dalam hal kedisiplinan, kerja sama, dan kepemimpinan.

Akhirnya, prodi dan fakultas mengambil keputusan untuk mewajibkan seluruh mahasiswa mengikuti BSO mulai tahun lalu.

Sajarwa juga teringat dengan pengalaman lucunya ketika kuliah agama Islam di Fakultas Filsafat.

“Waktu itu, ada kuda masuk ke kampus. Dosen bilang, ini bukan kuda, ini hanya salah satu dari kuda.”

“30 tahun setelah belajar linguistik, saya membuktikan kebenaran konsep tersebut.”

“Kuda itu konsep, kuda yang kita lihat hanya salah satu contohnya.”

“Hal ini saya temukan juga saat belajar linguistik,” jelas pria yang semasa kuliahnya suka menonton konser dangdut di Klaten itu.

Sajarwa sudah menjadi Kaprodi sejak 2016. Dalam masa mengabdinya di UGM, Sajarwa juga pernah diminta membantu mengelola pengajaran bahasa Indonesia untuk orang asing.

Selain disibukkan dengan pekerjaannya sebagai Kaprodi dan mengajar, kini Sajarwa juga masih aktif di Kantor Jaminan Mutu UGM, mendampingi beberapa universitas di Indonesia untuk meningkatkan akreditasinya.

Kendati sudah menjadi Kaprodi, Sajarwa sebenarnya lebih gemar mengembangkan keilmuan dengan melakukan riset bersama mahasiswa.

“Lebih puas melakukan riset, lebih nyaman terjun langsung dan bermain dengan data, daripada kerja dengan jabatan struktural,” katanya. (Kinanthi)