Refleksi Ramadan Puitik yang Baru Saja Lewat

272
Sebuah refleksi dari Ketua KAGAMA Filsafat, Achmad Charris Zubair, tentang suasana Ramadan di tengah pandemi Covid-19. Foto: Dok Pri
Sebuah refleksi dari Ketua KAGAMA Filsafat, Achmad Charris Zubair, tentang suasana Ramadan di tengah pandemi Covid-19. Foto: Dok Pri

Oleh Achmad Charris Zubair*

 

BULAKSUMUR – Saya ingin mengutip apa yang disampaikan penyair Madura, D Zawawi Imron, sebagaimana yang saya baca dari tulisan Aguk Irawan “Puasa, Puisi dan Ruang Batin” yang termuat di Harian Kedaulatan Rakyat 3 tahun yang lalu, 28 Mei 2017 hal 11. “Agama dimulai dari momen puitik. Sidharta Gautama dibawah sebatang pohon Bodhgaya. Musa di puncak Gunung Sinai. Muhammad di Goa Hira. Bahkan Kitab Suci Al-Qur’an el Kariim pun tersaji dalam bahasa puitik yang teramat indah.”

“Karena itu (menulis) puisi itu situasi terpuncak dalam momen penghayatan dan pengalaman bagi seorang yang beragama. Jadi tak cukup hanya sepasang mata penyair saja yang jatuh cinta pada kertas, tapi juga jiwanya. Jiwa penyair harus jatuh cinta pada Tuhan.

“Ketika kita sedang berpuasa, tidak saja ruang batin kita yang dipuisikan, tetapi lambung kita dipuisikan, nafas kita dipuisikan, mata kita dipuisikan, telinga kita dipuisikan, hidung kita dipuisikan, lidah dan kata kata kita dipuisikan. Sebagai situasi hening dan senyap yang dahsyat. Momen yang tak lazim dalam hari hari kita.”

“Puasa dan puisi semestinya menghadirkan seseorang mengalami sesuatu Yang Maha Lain, yang numinous. Sebagaimana yang digambarkan Rumi: memukau, tentang yang indah mempesona.” Demikian tausiah KH D Zawawi Imron dalam rangka Songsong Ramadhan 22 Mei di Gubuk Baca Baitul Kilmah.

Dari apa yang disampaikan Zawawi Imron saya berpendapat seharusnya bulan Ramadaan harus dihadapi dalam suasana puitik. Hening yang indah yang akan menjadi jejak relijius bagi siapapun yang menghayati Ramadan secara puitik. Saya tidak sedang menggugat siapapun.

Baca juga: In Memoriam Didi Kempot, Juga Semua yang Telah Mendahului Kita

Tapi di tengah hingar bingar industri hiburan yang memanfaatkan Ramadan. Hingar bingar iklan produk apapun yang memanfaatkan Ramadan. Bahkan hingar bingar suara pengeras suara di malam-malam Ramadhan. Doa Allahuma innaka afuwwun tuhibbul afwa fa’fuanni yang sungguh yang amat puitik, menjadi “porak poranda” karena diteriakkan lewat pengeras suara yang justru menunjukkan Allah Maha Jauh. Padahal Dia lebih dekat dari urat leher kita. Yang akan mendengar permohonan maaf kita dengan bisikan mesra, bahkan tak terucap lewat kata, hanya tetes air mata.

Ketika kita disuguhi guyonan vulgar di televisi yang hadir sepanjang malam Ramadan, kapan suasana puitik ini bisa kita rasakan? Al-Qur’an sebagai Firman Allah pun amat sangat puitik. Karena yang disentuh oleh Allah adalah lubuk qalbu paling dalam dari makhluk-Nya yang dimuliakan-Nya, yakni manusia. Lailatul qadar yang lebih baik daripada malam seribu bulan pun, sungguh puitik, ketika ada keheningan, semesta seolah senyap, ketika doa dan pinta manusia langsung menghentak Arsy Allah.

Ketika kebaikan manusia dilipatgandakan-Nya dan dosa manusia diampuni-Nya, semoga suasana “puitik” Ramadan bisa kita raih. Karena menjadi manusia yang mampu menanggalkan jabatan, pangkat, kedudukan, harta dan menjadi Muttaqin, yang mulia di hadapan Allah, sungguh sangat puitik!

Puasa tahun ini berbarengan dengan pandemi Covid 19 kita “dipaksa” untuk menghayati Ramadan secara “nyaris” puitik. Salat di rumah, tarawih di rumah, tadarus di rumah, iktikaf di rumah, mendamba lailatul qadar dalam “sunyi” di rumah, bahkan akhirnya salat Idul Fitri pun di rumah.

Semoga Ramadan tahun ini yang baru saja lewat mengangkat kita semua ke derajat paling puitik di hadapan Allah, derajat spiritual yang disebut muttaqiin. Aamiin.[]

*Ketua KAGAMA Filsafat

Baca juga: KRA Pringgalaya, Sang Pembuka Era Monarki Parlementer Kasunanan Surakarta