Protes Australia terhadap Hukuman Mati, Keras Tapi Tak Menyelamatkan

679

Namun, protes yang disampaikan ini justru memperlihatkan Australia yang tak menghormati Indonesia, serta terkesan sebagai bentuk intervensi terhadap hukum di Indonesia.

Hal tersebut secara khusus ditunjukkan saat Australia menawarkan ‘pertukaran’ tahanan kasus narkoba dan mengungkit bantuan kemanusiaan tsunami dan gempa Aceh tahun 2004.

Nilai-nilai perlindungan HAM dan penghapusan hukuman mati saat ini dipandang penting.

Selain itu, isu ini menjadi tren global dan gencar dipromosikan oleh aktor-aktor internasional.

Meskipun demikian, Aulia melihat terdapat ketidaksesuaian antara ucapan dan tindakan Australia.

Aspek HAM digaungkan ketika Australia bersinggungan dengan negara lain, khususnya saat warga negaranya terancam hukuman mati.

“Tindakan Australia tersebut memunculkan spekulasi adanya kepentingan lain di balik protes Australia terhadap Indonesia terkait hukuman mati duo Bali Nine,” tulis Aulia dalam tesisnya yang berjudul Protes Australia terhadap Hukuman Mati Kasus Narkoba yang Melibatkan Warga Australia di Indonesia tahun 2017.

Hasil analisa lainnya yang dipaparkan Aulia, pembelaan warga negara tersebut hanya sebatas formalitas dan tanggung jawab negara.

Dengan kata lain, nilai anti hukuman mati yang dianut Australia tidak absolut dan sering dikorbankan untuk kepentingan lain.

Mengacu pada studi terdahulu, Aulia menyatakan bahwa posisi Indonesia sangat penting bagi Australia.

Ketika dua negara ini terlibat konflik, menjaga hubungan bilateral selalu menjadi solusi.

“Ketika suatu negara lebih memprioritaskan kepentingan politik, negara tersebut akan lebih sulit mencapai kepentingan terkait HAM,” jelas Aulia.

Satu pelajaran penting yang diambil Aulia, kebijakan luar negeri Australia selalu dipengaruhi oleh persepsi elit-elit politik terhadap hukuman mati.

Misalnya Menteri Australia, John Howard dan Kevin Rudd yang memandang hukuman mati secara pragmatis, sehingga mereka sempat mendukung kebijakan ini.

Ada lagi, Tony Abbott yang menjadikan isu hukuman mati untuk menarik simpati rakyat Australia dan partai liberal.

Tentunya sebagai usaha untuk mengekalkan jabatan perdana menterinya.

Sementara dalam konteks HAM di Asia Tenggara, Aulia melihat Australia cenderung memilih kerangka bilateral, sehingga muncul inkonsistensi dalam menanggapi isu di negara yang berbeda.

Berbagai langkah dilakukan Australia dengan menggunakan perlindungan diplomatik.

Tetapi bagi Aulia, kerangka diplomasi ini hanya untuk mengurangi tensi perselisihan dengan negara lain.

Walaupun begitu, Australia tetap menyeimbangkan kepentingannya dalam melindungi warga negaranya dan kedaulatan negara lain.

“Respon dan protes Australia terkesan keras namun tidak cukup kuat untuk menyelamatkan warga negaranya dari hukuman mati,” demikian Aulia menyimpulkan. (Kinanthi)