Potensi dan Tantangan Fintech di Tanah Air

334
Ketua Dewan Pertimbangan Presiden Prof. Sri Adiningsih memberikan cinderamata kepada Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso. Foto : Josep/KAGAMA
Ketua Dewan Pertimbangan Presiden Prof. Sri Adiningsih memberikan cinderamata kepada Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso. Foto : Josep/KAGAMA

KAGAMA.CO, JAKARTA – Teknologi digital sudah mengubah seluruh peradaban dunia.

Saat ini orang bisa melakukan apapun lewat koneksi internet, memesan barang, service on demand, belajar, melakukan aktivitas ekonomi seperti jual beli barang hingga saham, saat ini semua dapat dilakukan secara online.

Berdasarkan data tahun 2018, nilai barang yang diperdagangkan secara online di Indonesia mencapai US$27 miliar atau sekitar Rp382,6 triliun.

Indonesia berada di atas Thailand yang mencatatkan nilai US$15 miliar, Singapura US$10 miliar, dan Vietnam US$9 miliar.

Di kawasan Asean, Indonesia memiliki potensi besar yang mampu memanfaatkan hadirnya digitalisasi.

Tak heran bila kini Indonesia mempunyai satu startup decacorn dan tiga startup unicorn.

Fenomena lainya yang berkaitan digitalisasi di Tanah Air, perkembangan financial technology atu fintech dimana produk keuangan apapun kini sudah bisa diberikan atau dilayani bukan saja oleh lembaga jasa keuangan konvensional seperti bank maupun asuransi, perusahaan seperti Gojek dapat mengeluarkan produk platform digital seperti Gopay, peer to peer lending, serta produk keuangan lainnya.

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menyampaikan hal itu saat memberikan kata sambutan dalam acara diskusi terbatas bertema “Peran dan Perkembangan Ekonomi Berbasis Digital Indonesia” sekaligus peluncuran buku yang ditulis Ketua Dewan Pertimbangan Presiden, Prof. Sri Adiningsih, berjudul “Transformasi Ekonomi Berbasis Digital di Indonesia” yang digelar di Jakarta, belum lama ini.

Menurutnya, selain Gojek, ada banyak perusahaan-perusahaan lain yang mengeluarkan platform digital yang bisa melayani produk-produk keuangan.

Mereka bukan perusahaan atau lembaga jasa keuangan resmi seperti halnya bank atau perusahaan asuransi.

OJK Baru Mengatur Produk

Saat ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum mengatur perusahaan-perusahaan tersebut.

OJK baru mengatur produk-produknya, seperti peer to peer lending atau pinjaman online, t-cash, hingga e-money.

Sementara itu lembaga jasa keuangan seperti bank atau perusahaan sudah memiliki aturan-aturannya sendiri.

“Jika hal ini dibiarkan, bukan tak mungkin nanti bakal muncul digital bank (Digibank) yang merupakan platform.”

“Nah, saat ini OJK tengah membahas regulasinya dengan para pemangku kepentingan di dunia keuangan dan perbankan di Tanah Air,” ujar Wimboh.

Tujuannya, agar nantinya OJK tak hanya mengawasi produk-produk keuangan atau platform semata, tapi juga mengawasi lembaga atau perusahaan yang mengeluarkan platform tersebut.

Bicara peer to peer lending, saat ini OJK hanya mengawasi atau mengatur agar platform peer to peer harus transparan supaya masyarakat terlindungi kepentingannya, tidak boleh abuse, dan perusahaan atau lembaga yang mengeluarkan platform itu terdaftar.

Namun faktanya, banyak dari perusahaan atau lembaga yang mengeluarkan platform peer to peer itu tidak terdaftar di OJK.

“Ada pemikiran agar praktek ini dilarang saja? Tapi masalahnya, platform ini tetap bisa  disediakan dari mana saja, bahkan dari negara lain, sehingga dilarang juga sulit,” ungkap Wimboh.

OJK sudah mengeluarkan kebijakan tentang platform peer to peer lending agar aktivitas mereka tidak mengganggu stabilitas finansial sekaligus melindungi kepentingan masyarakat.

Regulasi ini dibutuhkan karena fintech dari Indonesia sudah merambah ke beberapa negara Asean dan harapannya kita bisa menjadi benchmark untuk fintech.

“Selain itu, Bank Indonesia dan OJK tengah melakukan riset Central Bank Digital Currency tentang prospeknya ke depan bila menggunakan sistem yang ada di Indonesia.”

“Saya pun mengapresiasi Prof. Sri Adiningsih karena menulis buku yang dapat menambah perbendaharaan literasi ekonomi digital yang masih sedikit diulas di Indonesia,” pungkas Wimboh. (Jos)