Perbincangan Golput Hanya Kuat di Jawa

206

Hal itu, menurut Arya, dapat dipahami karena golput merupakan isu kelas menengah perkotaan. Selain itu, aksesbilitas dan keterjangkauan serta tingkat penggunaan media sosial di Jawa menjadi salah satu faktor penentu dari hasil temuan tersebut.

“Di Jatim, Malang menjadi kota yang tingkat perbincangan golput cukup tinggi. Itu salah satunya dipengaruhi oleh banyaknya mahasiswa dan kelas menengah terdidik di sana,” ujar Arya.

Selain geografis, Arya dan timnya juga melakukan penelitian berdasarkan pegerakan waktu. Di hari biasa, percakapan mengenai golput hanya menyetuh angka 50 an. Namun diwaktu tertentu bisa mencapai 500 percakapan per harinya, bahkan lebih.

Menurut Arya, hal tersebut disebabkan oleh dua hal. Pertama, banyaknya orang berpengaruh, dengan jumlah pengikut ribuan yang memperbincangkan isu golput di media sosial. Kedua, Adanya momentum politik seperti debat capres atau yang lannya.

Data yang ada menunjukkan, bahwa dari 2840 percakalan di twitter, 9,5% merupakan wujud kampanye atau twit yang dikhususkan guna mengajak untuk golput. “Bisa dikatakan 200 an twit atau 1 dari 10 percakapan merupakan ajakan untuk golput,” ungkapnya.

Di sisi lain, Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Wawan Mas’udi menjelaskan bahwa golput dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Di antaranya adalah adanya ketidak puasan terhadap calon yang ada, tidak adanya alternatif kandidat yang diaggap mewakili kepentingan kelompok tertentu, serta sistem yang dianggap tidak fair.

Namun ia mengingatkan pentingnya partisipasi dalam pemilu. “Partisipasi dalam memilih adalah salah satu tiang pancang demokrasi, terutama bagi negara yang terus membangun demokrasinya,” jelas Wawan.

Ia juga mengatakan bahwa jika angka golput menguat, hal itu merupakan pertanda ada yang harus diperbaiki dari sistem demokrasi di Indonesia.

“Itu yang kita perlu ingat deligitimasi atas demokrasi, seperti halnya isu tentang kembalinya TNI ke ranah sipil atau pemerintahan, itu akan melemahkan demokrasi kita,” ungkapnya.

Walaupun begitu, ia mengingatkan bahwa golput tidak melanggar hukum dan konsekuensi wajar dikarenakan Indonesia menganut sistem yang menganggap memilih adalah hak, bukan kewajiban.

“Golput bukan pelanggaran hukum, yang melanggar itu menghalang-halangi orang menuju TPS atau memaksa orang lain memilih salah satu calon yang tidak dikehendaki,” pungkas Wawan.(Thovan).