Pengalaman Prof. Endang S. Rahayu di Jepang yang Berujung Pertemanan Tak Berkesudahan

1885

Baca juga: Belajar Toleransi dari Kampung Ilawe, Muslim-Kristen Bersatu Bangun Masjid dan Gereja

Tidak seperti teman-temannya yang kuliah dengan biaya pribadi.

“Kerja keras saya terbayarkan, sebab tiga tahun Saya bisa pulang,” ucap Trisye.

Bagi dia, proses kuliah yang sulit merupakan sarana pembentukan karakter.

“Kalau diingat-ingat, saya ya happy-happy saja. Sebab, ketidakmudahan zaman dahulu membuat saya kini menjadi terbiasa,” terang anak keempat dari lima bersaudara ini.

Meski demikian, wanita asal Jogja ini mengaku sempat trauma selama sekitar satu atau dua tahun dengan kenangan Jepang.

“Karena kayaknya Saya dulu itu menjalaninya gak mudah-mudah banget. Foto-foto tentang Jepang Saya diamkan mungkin ada satu tahun,” tutur Trisye.

“Saya masih trauma karena pekerjaan di sana betul-betul luar biasa,” jelas perempuan kelahiran 22 Februari 1954 ini.

Baca juga: Menguji Kualitas Terjemahan Google Translate dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia

Pertemanan Tak Berkesudahan

Jepang memang memberikan memori sedikit tak mengenakkan bagi Trisye selama menempuh kuliah S3.

Walau begitu, ada satu pelajaran hidup dari Jepang yang dia terapkan hingga saat ini.

Pelajaran itu adalah team-work alias kerja sama tim.

Dalam bimbingan Profesor Komagata dan Profesor Sugiyama, Trisye merasakan atmosfer kerja sama tim yang padu tanpa pandang bulu.

Profesor Saya itu tidak hanya menyatukan satu bangsa saja, tetapi satu Asia,” kata Trisye.

“Jadi, sampai sekarang, saya berteman baik dengan murid-murid Profesor Komagata,” ucap perempuan yang mengabdi di UGM sejak 1980 ini.

Di laboratorium yang bimbingan Profesor Komagata, Trisye berteman baik dengan Ken-Ichiro Suzuki (Jepang), Sin Sang (Korsel), Su Sang (Korsel) Park Sang (Korsel), dan Francisco B. Elgado (Filipina).

Baca juga: Darurat Corona, Menhub Budi Karya Tunda Penerbangan Indonesia-Tiongkok