Baca juga: Rohidin Mersyah Launching Canthelan dan Kebun Pertanian KAGAMA Bengkulu Sambil Gowes
Sementara terkait emisi CO2, merujuk pada sebuah hasil studi dari Manua Loa, Indonesia memiliki kadar CO2 315 ppm pada 1959 dan saat ini sudah mencapai 415 ppm.
“Semua itu ada karena kontribusi aktivitas manusia. Kerusakan hutan tropika, gas rumah kaca, menyebabkan perubahan iklim.”
“Gas rumah kaca telah dikontrol oleh Kyoto Protocol, tetapi kondisinya naik terus untuk CO2,” ujar alumnus Fakultas Biologi UGM angkatan 1973 itu.
Tjut mengungkapkan, ekosistem hutan tidak lagi terancam, tetapi hampir hilang. Perubahan tutupan lahan begitu besar melampaui carrying capacity.
Kerusakan hutan bakau juga menyebabkan ekosistem di pantai juga terancam. Seperti alih fungsi hutan bakau menjadi tambak udang.
Baca juga: Perlu Upaya Serius Kuatkan UMKM di Masa Krisis
“Terumbu karang terancam rusak terkena sedimen karena banjir yang sangat tinggi. Padang lamun, penyu, dan ekosistem pantai lainnya ikut terancam,” tutur dosen yang fokus di bidang ekologi landskap dan biologi konservasi itu.
Sekarang, saat pandemi Covid-19 mengharuskan semua orang untuk physical distancing, telah mengembalikan udara bersih yang diharapakan. Pencemaran lingkungan dan ancaman terhadap ekosistem mulai berkurang.
Merujuk pada data citra satelit, Tjut menyebutkan, ada penurunan kasar gas nitrogen dioksida, serta perbaikan kualitas udara dan perairan.
Dia mencontohkan, penduduk di India bahkan bisa melihat lagi pemandangan Pegunungan Himalaya dari jarak 200 km. Sebelumnya dalam masa 30 tahun pemandangan tersebut tidak bisa disaksikan.
Para nelayan mulai bisa berenang dengan air jernih di perairan Venesia, Italia. Demikian juga di Indonesia, kawan Tjut yang hobi berenang di Pantai Senggigi, sebelum Covid-19 kerap memungut sampah plastik hingga setengah karung di pantai tersebut.
Baca juga: Budi Karya Sumadi: Generasi Milenial Lebih Responsif dan Adaptif Hadapi Krisis
