Pandemi Corona, Masa ketika Guyub Rukun Menjadi Berbahaya

692
Dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, Dr. Pujo Semedi, dan Guru Besar Psikologi UGM Prof. Koentjoro berbincang masalah keguyubrukunan dalam masa pandemi. Foto: Nurphoto
Dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, Dr. Pujo Semedi, dan Guru Besar Psikologi UGM Prof. Koentjoro berbincang masalah keguyubrukunan dalam masa pandemi. Foto: Nurphoto

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Guyub rukun dimaknai sebagai kehidupan sosial yang akrab, dekat, dan personal.

Hal itu dilakukan baik dalam aspek komunikasi, ekonomi, dan kegiatan fisik.

Demikian seperti dituturkan Dosen Antropologi UGM, Dr. Pujo Semedi Hargo Yuwono, belum lama ini.

Pujo menjadi salah satu narasumber dalam webinar bertema Mendefinisikan Ulang Makna Keguyuban Sosial dan Religi.

Dalam pandangan Pujo, masyarakat Jawa kental dengan praktik guyub rukun.

Dekan Fakultas Ilmu Budaya UGM periode 2012-2017 ini lantas memberi salah satu contoh.

Contoh itu adalah kebiasaan petan (mencari kutu rambut) yang dilakukan oleh sebagian wanita Jawa tempo dulu.

Baca juga: Alumni UGM Edukasi Masyarakat lewat Lomba Video #terimakasihpahlawancovid

“Mungkin generasi sekarang tidak ada lagi yang tahu kebiasaan petan,” ucap Pujo.

“Yakni ketika para ibu dan perempuan di desa yang duduk berderet saling membersihkan kutu rambut.”

“Ini adalah salah satu contoh klasik kedekatan fisik dan sosial,” terang alumnus Antropologi UGM angkatan 1985 ini.

Pujo menilai, petan dalam suasana guyub rukun mungkin terasa menyenangkan jika dilakukan dalam kondisi normal.

Akan tetapi, kata dia, hal yang demikian menjadi tidak berlaku saat salah seorang perempuan membawa penyakit bagi orang lain.

Hal itu seperti saat ini, ketika wabah virus corona tengah melanda seluruh negeri.

Pujo memandang, guyub rukun dan kedekatan fisik menjadi sumber ancaman berbahaya dalam situasi wabah.

Baca juga: Benarkah Puasa Ramadan Menurunkan Imunitas?