Pandangan Peneliti UGM Mengenai Khitan di Kalangan Perempuan

1011
Mitos dan Fakta soal khitan alias sunat di kalangan perempuan jadi topik perbincangan dalam seminar yang digelar Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM. Foto: Vice
Mitos dan Fakta soal khitan alias sunat di kalangan perempuan jadi topik perbincangan dalam seminar yang digelar Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM. Foto: Vice

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Praktik khitan alias sunat di kalangan perempuan terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, mencatat 51 persen perempuan usia 0-11 tahun di Indonesia pernah disunat.

Selanjutnya, 72,4 persen di antaranya melakukan sunat pada usia 1-5 bulan, 13,9 persen pada usia 1-5 bulan, 13,9 persen pada usia 1-4 tahun, dan 3,3 persen pada usia 5-11 tahun.

Padahal, PBB (organisasi internasional antarnegara) telah menyatakan tidak ada toleransi bagi tindakan pemotongan alat kelamin perempuan.

Hal itu ditegaskan dengan peringatan Hari Nol Toleransi Sunat Perempuan yang jatuh tiap tanggal 6 Februari.

Baca juga: Resep Empon-empon Presiden Jokowi untuk Jaga Kebugaran Tubuh

Beberapa aliran keyakinan dan tradisi ditengarai membuat praktik sunat di kalangan perempuan masih eksis.

Hal ini lantas menggugah Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM untuk melakukan pembahasan bersama Women’s March Yogyakarta beberapa waktu lalu.

Pembahasan yang digelar kedua pihak tersebut mengambil tema Membedah Mitos dan Fakta tentang Sunat Perempuan.

Dalam kesempatan ini, peneliti PSKK UGM, Sri Purwatiningsih, S.Si., M.Kes. hadir sebagai narasumber.

Sri bertutur, praktik sunat atau P2GP (Pemotongan dan Perlukaan Genitalia Perempuan) dianggap sebagai kewajiban agama yang mesti dilakukan di beberapa daerah di Indonesia.

Baca juga: Cerita Kepala Perancangan Undang-Undang Alumnus UGM Siapkan Dokumen RUU Omnibus Law