Pakar UGM Bicara Soal Pemindahan Ibu Kota Negara

721

Apa yang ingin dipindah?

Namun hal yang pertama perlu didiskusikan terlebih dulu terkait isu pemindahan ibu kota ini ialah menentukan apa yang sebenarnya ingin dipindahkan. Menurut Sukamdi, perlu adanya pemahaman bersama bahwa pemindahan pusat pemerintahan bukan berarti pemindahan ibu kota secara keseluruhan.

Hal senada juga diungkap oleh Muta’ali. Menurutnya tidak ada fungsi kota yang tunggal, semua menyatu dan saling terkait, sampai keduanya menjadi dominan.

Secara prinsipil, kata dia, “ibu kota ekonomi” mengikuti sistem dan mekanisme pasar (konsentrasi penduduk) dan menjadi pusat pertumbuhan yang memiliki multiplier effect yang sangat besar. Based on location.

“Sedangkan “Ibukota Pemerintahan” memiliki sifat footloose location, artinya dapat berlokasi di mana saja. Asalkan mampu memberikan pelayanan publik terbaik dan efisien,” terang Muta’ali.

Menurutnya, setidaknya ada dua jenis model pemindahan yang dapat dipilih. Pertama, memindah fungsi pemerintahan, ibu kota tetap. Dan kedua, memindah ibu kota sekaligus memindahkan fungsi.

Ibu kota memiliki makna politis, sedangkan pemerintahan lebih fungsional. Mengingat UU pembentukan negara menyampaikan bahwa ibu kota negara di Jakarta atau Presiden berkedudukan di ibu kota negara.

“Plihan pertama, ibu kota negara dan simbol politik kepresidenan masih di Jakarta, sedangkan fungsi pemerintahan (kementerian) dapat disebar atau didesentralisasikan ke daerah-daerah di seluruh penjuru Nusantara. Pilihan kedua, yaitu jika yang dipindah adalah ibu kota, maka untuk efisiensi sebaiknya juga diikuti dengan memindahkan fungsi pemerintahan secara bersamaan pada satu lokasi tertentu,” tambahnya.

Menurut Lektor Kepala Asosiasi professor Fakultas Geografi ini, wacana yang berkembang sampai saat ini tampaknya pada pilihan kedua. Saat ini yang sedang dikaji kelayakan calon ibu kota negara bahkan sudah banyak yang mengasumsikan tentang lokasi ibu kota yang baru di wilayah A, B, C, dan yang lain.