Mutu Pelayanan Kefarmasian di Era JKN Belum Ideal, Begini Solusinya

1045

Baca juga: KAGAMA Balikpapan Lakukan Penyemprotan Disinfektan di Rumah Ibadah Muslim dan Nasrani

Kemudian PMK 73 Tahun Tahun 2016 tentang standar pelayanan farmasi di apotek, serta PMK 74 Tahun 2016 tentang standar pelayanan farmasi di puskesmas.

“Idealnya kualitas pelayanan di farmasi, ya harapannya ada apoteker di sana. Karena hanya apotekerlah yang memahami betul standar pelayanan kefarmasian, di samping ada tenaga teknis kefarmasian,” tuturnya.

Dalam standar ini, terdapat dua domain utama. Pertama, pengelolaan obat dan alat kesehatan kaitannya dengan ketersediaan obat.

Kedua, pelayanan farmasi klinik. Sepanjang ada obat di fasilitas kesehatan, seharusnya ada peran apoteker di sana.

“Apoteker itu kalau di rumah sakit, punya kewenangan untuk visit ke pasien, kaitannya dengan penggunaan obat.”

Baca juga: Menlu Retno Marsudi Larang Pendatang dari 8 Negara Ini Masuk ke Indonesia

Kolaborasi antara farmasi dengan tenaga kesehatan menjadi sangat penting, tidak hanya dokter saja.

“Setelah dokter membuat resep obat, giliran farmasis yang menyiapkan obat dan memonitoring, kaitannya dengan penggunaan obat,” jelasnya.

Selain itu, ada pula regulasi kebijakan yang belum mendukung peningkatan mutu layanan kefarmasian. Satibi berharap RUU Kefarmasian segera selesai disusun dan disahkan.

Tak hanya itu, peran individu dari apoteker untuk menjalankan slogan no pharmcist no services juga penting. Seharusnya tidak boleh ada apotek buka tanpa farmasis.

Wakil Dekan Bidang Keuangan, SDM, dan Aset Fakultas Farmasi ini, berharap ada perbaikan terkait ketersediaan obat dan pemerataan apoteker di Indonesia.

“Sebab intervensi kesehatan masyarakat, 90 persen lebih masih menggunakan obat,” pungkasnya. (Kn/-Th)

Baca juga: Seruan Willem Wandik kepada Warga Puncak: Jangan Keluar Daerah Lalu Bawa Penyakit ke Sini