Momentum Hari Anak Nasional, Produksi Konten Anak di Media Perlu Dikembangkan

830

Konten Tayangan Media Jadi Fokus Perhatian

Keberadaan tayangan media (daring dan elektronik) tidak terlepas dari peran pemerintah. Disampaikan oleh Dian, pemerintah sudah berupaya, tetapi hanya dengan melakukan cencorship terhadap bagian-bagian dalam tayangan yang dianggap tidak pantas.

“Bagi saya cencorship itu tidak menjamin apapun. Malah, bisa menimbulkan berbagai kejanggalan dan persepsi yang berbeda,” jelas Dian.

Diceritakan oleh Dian, anaknya menonton sebuah film secara utuh, tanpa pemotongan adegan. Kemudian si anak menonton ulang di televisi dengan keadaan film sudah melalui cencorship. Dian sempat memberikan respon positif, karena hal-hal buruk dalam film tidak ditampilkan.

Namun, anak Dian punya pendapat lain, banyaknya bagian film yang dipotong, justru membuat cerita menjadi patah-patah.

“Ada pemahaman narasi semacam itu yang kemudian menjadi tidak utuh,” ungkapnya.

Baca juga: Sadari Efek Negatif Kebiasaan Mengisap Jari pada Anak

Ketika berbicara soal tontonan anak yang semakin berkurang dan bagaimana caranya supaya anak bisa mendapatkan tontonan yang tepat, Dian berpendapat bahwa saat ini ada banyak pilihan.

“Selain tontonan anak yang semakin berkurang, yang sangat disayangkan adalah produksi tontonan anak yang ada pun tidak berkembang,” ungkap dosen yang menyelesaikan pendidikan sarjana hingga doktoralnya di Departemen Ilmu Komunikasi UGM itu.

Ia berpikir hal ini bisa menjadi sesuatu yang bisa dikembangkan oleh pemerintah dan para pemain film, pembuat sinetron, atau pembuat lagu. Konten anak masih menjadi pasar yang kecil di dunia industri. Meskipun demikian, menurut Dian ide ini masih bisa dibantu dengan kebijakan.

Sudah ada aturan tentang porsi setiap jenis tayangan di televisi. Namun, perhatian belum sampai pada isi atau substansi dari konten tayangan tersebut.

Pengalaman serupa juga dirasakan oleh Ampuni yang sudah memiliki pengalaman hidup tinggal di Australia bersama keluarganya. Ampuni merasa beruntung, ada salah satu channel televisi di Australia yang menjadi surga bagi anak-anak, seluruh tayangan menarik dan edukatif. Sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan channel-channel televisi di Indonesia.

Baca juga: Meminimalisasi Perkawinan Anak dengan Intervensi Hukum Adat dan Agama

Sepulangnya dari Australia, Ampuni merasa prihatin tidak menemukan tontonan yang layak bagi anak di televisi. Akhirnya ia memutuskan untuk berlangganan televisi kabel. Dengan demikian anak bisa mendapatkan tontonan yang baik lewat channel khusus.

“Di sini belum ada channel seperti itu. Anak-anak Saya di sini paling hanya nonton kartun seadanya. Itu pun unsur edukatifnya masih kurang. Menurut saya pemerintah harus serius soal ini,” pungkas Ampuni.

Salah satu tayangan televisi yang tidak mendidik adalah sinetron. Banyak kritik yang dilontarkan oleh Ampuni, mulai dari bahasa verbal, ketidaksesuaian cerita, alurnya yang tidak masuk akal, agresivitas, bulllying, dan sebagainya. Bagi Ampuni, pihak yang bersangkutan perlu menumbuhkan unsur-unsur edukatif di setiap tayangan.

Sutarimah Ampuni, S.Psi., M.Si. Foto: Psikologi UGM
Sutarimah Ampuni, S.Psi., M.Si. Foto: Psikologi UGM

Proses Anak Meniru Adegan pada Tayangan Media

Perilaku anak yang cenderung meniru tayangan media, pastinya tidak hanya terjadi di satu atau dua tempat saja. Semua orang pernah mengalami atau menyaksikannya secara langsung.

Mendapati anak meniru adegan dari media rasanya menjadi hal yang biasa. Namun, dampaknya luar biasa jika terus dibiarkan. Apalagi, adegan yang ditiru bukan sesuatu yang positif dan merugikan orang lain.

Baca juga: Ayah Perokok Berisiko Ganggu Kondisi Kesehatan dan Sosial Anak