Merawat Identitas Ala Fajar Wijanarko

949
Menjaga manuskrip yang sebenarnya adalah membaca dan menelitinya. Biarlah usia akan merusaknya, tetapi ilmu dan sejarahnya tetap ada. Foto: Fajar
Menjaga manuskrip yang sebenarnya adalah membaca dan menelitinya. Biarlah usia akan merusaknya, tetapi ilmu dan sejarahnya tetap ada. Foto: Fajar

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – “Setiap jalan itu sudah ada yang menggariskan. Hal yang tidak sengaja itu menurutku tidak mungkin.

Apa yang ada dalam pikiran kita maka secara langsung akan diamini oleh seluruh macro cosmos yang ada”.

Begitulah keyakinan Fajar Wijanarko selama ini, meyakini akan adanya faktor yang selalu berperan di dalam hidup seorang manusia.

Alumnus Sastra Nusantara, Fakultas Ilmu Budaya UGM ini menggeluti bidang naskah dan kebudayaan berawal dari kesukaan yang membutuhkan proses panjang.

Penerima beasiswa bidikmisi ini awalnya menggeluti bidang tari semasa kecil, akan tetapi timbul keengganan ketika ada perasaan feminitas saat menari.

“Saya suka budaya mungkin sejak menari dulu, namun sempat gak percaya diri, masak laki-laki menari.”

“Kebetulan budhe saya pesinden keraton juga,” terang Fajar kepada KAGAMA, belum lama ini di ruang kerjanya.

Fajar Wijanarko, arsiparis dan kurator naskah kuno di Museum Sonobudoyo. Foto: Taufiq/KAGAMA

Benar adanya, takdir mempertemukan Fajar untuk kembali menari ketika menjadi ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) di semester 5.

“Tiba-tiba waktu itu saya disuruh menghidupkan seni praktis di jurusan saya, dan terlintas tari adalah jawabannya.

“Dulu saya pujo dan kembali di pujo” tambahnya. Maksudnya adalah Pujokusuman, salah satu sanggar tari di Yogyakarta.

Perjuangan menghidupkan kembali seni praktis ini berhasil dengan terselenggarakannya pentas kebudayaan Gugur Gunung dan pentas di Ambarukmo berupa lomba.

Hingga saat ini pun kesenian tari masih dikembangkan di Sastra Nusantara UGM.

Sempat menunda kelulusan di tahun 2014 akhir karena papernya lolos di Malaysia, berkat itu rupanya membuat Fajar dipertemukan dengan Gusti Hayu di awal 2015.

Pertemuan ini membawa berita bagus ketika ia mendapat penawaran untuk membantu Keraton di Tepas Tandha Yekti.

Keraton Yogyakarta yang saat itu sedang membuat pendekatan kepada masyarakat salah satunya lewat media sosial di bawah naungan Tepas Tandha Yekti.