Menyulap Kawasan Kriminal Menjadi Ramah Anak melalui Tanoker

268

Berawal dari Egrang

Sebelum menyulap Ledokombo menjadi Kawasan ramah anak, komunitas ini telah melalui berbagai macam proses perubahan. Berawal dari anak-anak yang bermain dan menari egrang, kemudian muncul inisiatif untuk membuat Festival Egrang yang ternyata mampu menarik antusias dari berbagai kalangan.

Festival ini diadakan setiap tahun dengan puncak acara pada tanggal 21 September untuk memperingati Hari Perdamaian Dunia, sekaligus kemerdekaan Indonesia.

Sebelum puncak acara pada 21 September, lomba-lomba sudah banyak diadakan sejak akhir bulan Juli untuk memperingati kemerdekaan. Menjelang puncak acara, diadakan kegiatan seperti jambore anak, workshop kuliner, dan lain sebagainya. Pada tanggal 21 September, anak-anak sekolah turut meramaikan pawai yang diikuti sekitar 17-40 orang penari atau pemain egrang.

Supo yang merupakan alumnus S1 Manajemen Kehutanan UGM ini menjelaskan alasan pemilihan tanggal 21 September sebagai puncak acara bersamaan dengan pringatan Hari Perdamaian Dunia. Menurutnya, kebahagiaan yang diraih tiap-tiap orang hanya akan terjadi setelah adanya suasana damai.

“Hari perdamaian dunia ini juga menjadi penting karena tidak semua orang merasa bahagia dan damai dengan adanya perdagangan manusia, kekerasan seksual, penggunaan narkoba, serta eksploitasi terhadap anak,” ujarnya.

Kemeriahan Festival Egrang ini ternyata mampu mendatangkan lebih banyak orang ke Ledokombo. Dari sinilah muncul inisiatif untuk memproduksi kerajinan yang dapat dijadikan sebagai souvenir.

Supo pun memfasilitasi warga agar menghasilkan kerajinan seperti tas dan dompet dengan memberikan pelatihan kepada ibu-ibu. Dengan pelatihan ini, ibu-ibu tidak hanya belajar membuat produk kerajinan, tetapi juga belajar memanajemen dan memasarkan barang dengan baik.

Seiring berjalannya waktu, pengunjung tidak hanya datang di saat Festival Egrang. Biasanya mereka menghabiskan waktu sekitar tiga hari untuk berkunjung dan belajar di Ledokombo.

Awalnya para tamu ini menginap di rumah Supo, tetapi jumlahnya yang semakin meningkat mendorongnya untuk mengajak para tetangga ikut memfasilitasi penginapan. Para tamu ini pun tertarik memanfaatkan fasilitas penginapan dari warga dengan harga yang bervariasi.

“Rumah beserta fasilitas yang ditawarkan seperti air hangat, AC, dan WiFi adalah milik warga sendiri, tetapi pembayarannya melalui Tanoker,” ungkap Supo.