Menghidupkan Cita-Cita Ala Prof. Agus Pramusinto

2128

“Sebagai mahasiswa tentu hanya sebagai pendengar waktu itu, tapi di situ saya sadar kalau pengetahuan di kelas itu sangat terbatas.

“Dan di diskusi ada banyak sekali ilmu yang dengan instan bisa saya cerna, karena kalau harus baca buku sendiri kan perlu waktu yang lama,” tambahnya.

Untuk mengasah analisisnya, ia juga cukup aktif mengirim tulisan di salah satu koran lokal, yaitu kedaulatan rakyat.

Pram mengaku cukup aktif menulis. Selain berlatih untuk berpikir kritis, hal itu ia lakukan juga untuk mencari uang.

Pram juga sempat menjadi asisten penelitian dosen saat masih kuliah.

Dari proyek penelitian bersama dosen ini, ia belajar cara mengumpulkan data dengan benar dan cara mewawancarai narasumber.

Selepas lulus sarjana di Jurusan Administrasi Negara Fisipol UGM pada 1989, Pram kemudian sempat menjadi peneliti di Lembaga Pendidikan, Penelitian dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).

Selama dua tahun di sana ia belajar cara menganalisa permasalahan sosial dan berinteraksi dengan masyarakat secara langsung.

Setelah itu, Pram kembali ke fakultas untuk menjadi staf. Sembari bekerja, Pram pun mengambil kursus bahasa Inggris di English Course, SELTU (Staff English Language Training Unit), Universitas Gadjah Mada.

“Kemudian di tahun 1994 saya dapat beasiswa untuk studi master di Australian National University setelah melamar sebanyak 7 kali,” Ungkapnya.

Sebelum itu ia pernah mencoba untuk melamar beasiswa di berbagai negara seperti Amerika, Belanda hingga Jepang. Namun baru percobaan ketujuh dengan tujuan Australia, akhirnya ia berhasil lolos dan berangkat.

Dan di Australian National University juga ia melanjutkan belajar untuk mendapat gelar Ph.D.

Pram tidak menyangka kini bisa menjadi profesor, mengingat perjuangannya mendapat gelar tersebut tidaklah mudah.

Pram bahkan harus berurusan dengan Ombudsman dan Kejaksaan hingga kemudian pada 2014, dan di usianya yang menjelang 51 tahun, gelar tersebut ia dapatkan.

“Saya berangkat dari segala keterbatasan, saya meyakini bahwa hanya pendidikan yang dapat mengubah nasib saya waktu itu. Jadi saya harus bersungguh-sungguh sejak S1,” pungkasnya. (Rosa)