Mengapa Remaja Melakukan Klithih di Yogyakarta?

613

Kekerasan Berisiko

Aksi klithih tergolong dalam kekerasan berisiko, karena pelakunya masih berada di usia rentan.

Remaja mudah menuruti ajakan dan rayuan dari gengnya.

Selain itu, kelompok pertemanan yang telah menjadi bagian darinya dapat meningkatkan otonomi dari orang tua, bahkan berpotensi terlibat dalam tindakan kekerasan yang dilakukan anggota geng.

Motivasi geng remaja dalam melakukan kekerasan yaitu adanya respon yang memancing emosi anggota geng.

Sementara itu, dalam kondisi netral, aksi klithih dilakukan hanya untuk mengusir kebosanan.

Meskipun demikian perilaku kekerasan yang dilakukan bervariasi.

Dari beberapa informan yang dimintai keterangan, satu di antaranya merasakan perasaan yang tidak nyaman saat melakukan aksi klithih.

Namun, hal tersebut harus ia lakukan jika masih ingin dianggap sebagai anggota geng.

Berbeda lagi dengan satu informan lain yang merasa biasa saja, karena ia bersama temannya sudah terbiasa melakukan klithih.

Perkembangan Aksi Klithih

Dari waktu ke waktu, aksi klithih semakin berkembang dan membahayakan.

Agitia mendapatkan informasi dari salah satu mantan pelaku klithih.

“Partisipan menyatakan bahwa dahulunya klithih dilakukan dengan menggunakan tangan kosong, yakni dengan memukul korban yang ditemui. Sementara itu, aksi klithih saat ini berkembang dengan menggunakan berbagai perlengkapan seperti senjata tajam, tongkat kasti, besi dan lain sebagainya,” jelas Agitia.

Hal ini semakin diperkuat dengan kasus aksi klithih tahun 2016 yang mengakibatkan hilangnya nyawa seorang pelajar.

Sampai saat ini, eksistensi klithih belum meredup meskipun aparat hukum semakin gencar meminimalkan aksi tersebut dengan berbagai sanksi yang merugikan pelaku.

Peristiwa Konformitas

Perilaku remaja yang bergabung dalam anggota geng disebut oleh Agitia sebagai peristiwa konformitas.

Hal ini muncul karena adanya tekanan kelompok yang membuat individu mengubah keyakinan, sikap, dan perilakunya sesuai norma geng.

Hasil temuan Agitia, terdapat dua jenis konformitas dalam konteks aksi klithih ini.

Konformitas acceptence, anggota geng menganggap klithih perilaku yang wajar sebagai penggambaran loyalitas dan eksistensi diri remaja.

Konformitas complience, mengalami pertentangan dengan konflik di dalam diri saat melakukan klithih.

Complience bisa berubah menjadi acceptence, bilamana remaja telah memiliki hubungan keterikatan yang lebih dan mendefinisikan diri sebagai ‘kita’ dalam geng.

Konformitas geng klithih bersifat temporer, karena dapat meningkat maupun menurun dalan situasi tertentu.

Eksistensi geng yang bertahan sampai sekian tahun, menjadi suatu subkultur berbeda di kalangan masyarakat.

“Keyakinan yang menegaskan perbedaan tersebut adalah bahwa anggota geng menganggap diri mereka sebagai representasi dari anak muda yang sanggup menyelesaikan persoalan sendiri,” demikian Agitia menyimpulkan. (Kinanthi)