Menengok Korupsi di Jawa pada Zaman Thomas Raffles Berkuasa

2339

Baca juga: Syarat Capim KPK Cacat Yuridis

Machmoed meyakini, indikasi Raffles melakukan tindak korupsi datang ketika maraknya penjualan persil (tanah dengan ukuran tertentu) secara besar-besaran.

Wilayah penjualan terkonsentrasi di daerah Batavia, Krawang, Priangan, Semarang, Surabaya, dan Sukabumi.

Pemerintahan pimpinan Raffles saat itu beralasan bahwa penjualan tanah dilakukan karena negara sedang membutuhkan uang segar untuk mengatasi krisis.

Memang benar keadaan ekonomi pemerintahan kolonial Jawa pada 1812 mencapai titik nadir.

Pemasukan dari sektor perkebunan dan tabungan negara tidak mencukupi kelangsungan operasional pemerintahan.

Sementara itu, nilai tukar mata uang Rix Dollar mengalami kemerosotan drastis lebih dari 100 persen.

Kala itu, antara 12-13 Rix Dollar hanya setara 1 dolar Spanyol.

Baca juga: Perkumpulan Keluarga Besar Taman Siswa Tolak Pelemahan KPK

Nah, Raffles pun percaya bahwa menjual sebagian tanah negara menjadi satu-satunya cara menghadapi krisis keungan sekaligus dapat mengembalikan posisi minimal 6,5 Rix Dollar per dolar Spanyol.

Raffles sebetulnya sudah meminta dana tambahan kepada Pemerintahan Tertinggi di Calcuta, India.

Namun, permohonan macet. Ide penjualan tanah pun benar-benar terjadi ketika Raffles membentuk Dewan Khusus (Special Council) pada 4 November 1812.

Pada waku itu, dia mengumpulkan beberapa pejabat seperti H.W. Muntinghe (anggota Dewan Penasihat Negara), Kolonel MacKenzie (Komite Penyelidikan), Residen Buitenzorg Thomas Mcquoid, Residen Rembang P.H.V. Lawick van Pabst, Residen Krawang W.Offers, Kepala Sekretaris Pemerintah C.G. Blagrave, dab Sekretaris Pemerintah Charles Assey.

Dari Dewan Khusus, muncullah komisi penjualan, pengiklanan dan pelelangan umum.

Sehari setelah pembentukan sekaligus rapat Dewan Khusus, 5 November 1812, pemerintah mengumumkan penjualan tanah di beberapa residensi melalui surat kabar, Government Gazette.

Namun, perencanaan mereka terlihat tidak matang karena informasi yang tertera dalam surat kabar tidak lengkap.

Baca juga: Belajar Egaliter dan ‘Ngewongke Wong’ ala I Wayan Nuka Lantara