Menelaah Hak Korban dan Posisi Masyarakat Adat dalam RKUHP

682

Baca juga: Ketua ADINKES, Krisnajaya: KAGAMA dapat Banyak Berperan untuk Pemerataan Pelayanan Kesehatan di Indonesia

Dikatakan oleh Wiyanti, sebetulnya sanksi itu bisa beragam, tidak melulu pelaku dihukum masuk penjara.

Hal lain yang disoroti dari RKUHP yaitu perspektif hak korban.

Namun demikian, Wiyanti mengatakan hak korban tidak konsisten diatur dalam RKUHP.

“Meskipun KUHP berorientasi pelaku, jika kita berhadapan dengan korban yang sangat rentan, maka hak korban dalam KUHP itu perlu,” tandasnya.

Di sisi lain, potensi ketidakpastian hukum bisa terjadi ketika kepentingan korban diletakkan dalam kepentingan masyarakat.

Baca juga: Turunkan Stunting, Dirjen Kesmas Kirana Imbau Pemkab/Kota Contoh Kabupaten Nganjuk

Mereka diberi keleluasaan menilai apa yang dianggap sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat.

“Dalam konteks masyarakat patriarkis maka situasi ini menimbulkan ketidakpastian bagi perempuan korban kekerasan dan pengabaian pada kondisi korban,” jelasnya.

Wiyanti mencontohkan tindak pidana kesusilaan yang diberlakukan bagi ibu yang menelantarkan anak.

“KUHP itu hanya fokus pada ibu dan perempuan. Lalu bagaimana dengan ayahnya?” tanya Wiyanti.

Lain dengan Wiyanti, Tody Sasmitha Jiwa Utama, S.H, LL, M., pakar hukum adat membahas pasal 2 ayat 1 RKUHP tentang definisi hukum yang hidup.

Baca juga: Agrosociopreneur Jalan Terang untuk Kemajuan Pertanian dan Ketahanan Pangan