Meminimalisasi Perkawinan Anak dengan Intervensi Hukum Adat dan Agama

307

“Menurut hukum negara anak perempuan berusia minimal 16 tahun boleh menikah, tetapi menurut pandangan agama, akil baligh lebih penting,” tulis Thamara dan Mies.

Selain itu, perdebatan perihal usia minimal perkawinan ini sering mengalami intervensi lantaran adanya kasus kehamilan di luar nikah yang mendorong adanya penikahan dini. Kendati secara syarat hukum negara usia belum memenuhi, namun karena untuk menyembunyikan hal yang dianggap aib keluarga, perkawinan anak di bawah umur tetap dilaksanakan.

Hukum negara yang selama ini dianggap cukup legal untuk mengurangi kasus perkawinan anak, justru dianggap gagal dalam praktiknya.

“Justru karena peraturan formal yang dikeluarkan negara kemungkinan besar tidak akan afdal untuk menurunkan prevalensi perkawinan anak dengan sendiri,” tulis Thamara dan Mien.

Oleh sebab itu, perlu adanya strategi non hukum yang harus dilakukan untuk menurunkan prevalensi perkawinan anak dengan mengikut sertakan tokoh agama dan tokoh adat.

Menurut mereka, hal ini disebabkan tokoh agama dan tokoh adat masih berperan besar dalam memfasilitasi perkawinan anak saat ini. Oleh sebab itu, hal pertama yang perlu dilakukan adalah mengubah mindset tokoh agama dan tokoh adat ini  untuk mendukung penghapusan perkawinan anak.

Mindset mereka perlu diubah melalui kegiatan yang menawarkan tafsiran agama yang mendukung penghapusan perkawinan anak,” tulis Thamara dan Mien.(Rosa).