Meminimalisasi Perkawinan Anak dengan Intervensi Hukum Adat dan Agama

307
Peran pemimpin agama dan adat cukup besar dalam menentukan perkawinan anak.(Foto: voaindonesia.com)
Peran pemimpin agama dan adat cukup besar dalam menentukan perkawinan anak.(Foto: voaindonesia.com)

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Prevalensi perkawinan anak di Indonesia tidak kunjung mengalami penurunan kendati sudah ada hukum negara yang mengatur usia minimal perkawinan. Selama ini, pesoalan tersebut jarang dikaji dengan mengikutsertakan keberadaan hukum adat dan agama.

Padahal, Indonesia merupakan sebuah negara yang mengakui adanyanya agama dan adat istiadat. Tak sedikit masyarakatnya yang masih memegang aturan-aturan adat dan agama yang dianut.

Kondisi inilah kemudian mendorong Sita Thamara dan Mies Grijns untuk mencoba mengkaji kebermanfaatan hukum adat dan hukum agama untuk menurunkan angka perkawinanan anak.

Penelitian berjudul Relevansi Kajian Hukum Adat” Kasus Perkawinan Anak dari Masa ke Masa ini diterbitkan oleh Jurnal Mimbar Hukum UGM pada Oktober 2018. Menurut Thamara dan Mies, perkawinan anak hanya dapat dipahami dan diselesaikan  apabila diteliti dari sudut dinamika antara hukum negara, hukum adat dan hukum agama.

Hasilnya menunjukan bahwa budaya hukum masyarakat dan peran pemimpin agama adalah faktor penting penentu penerimaan atau penolakan perkawinan anak. Kesimpulan ini diambil setelah melakukan komparasi antara kasus perkawinan anak yang terjadi di Sukabumi Jawa barat dengan Kasus di Batak Toba, Tapanuli Utara.

Keduanya sama-sama meletakkan peran pemimpin agama dan adat cukup besar dalam menentukan perkawinan anak. Bedanya, dalam kasus di Sukabumi pandangan agamawan yang digunakan adalah agama islam sedangkan di Tapanuli adalah agamawan Kristen.

Selain itu, salah satu perdebatan yang terus terjadi dalam bahasan perkawinan anak  berkutat pada pendefinisisan anak itu sendiri dan ambang minimal usia pernikahan. Tampak bahwa sumber hukum negara dan sumber hukum agama terjadi perbedaan.