Membangun Harmoni di Tengah Isu Rasisme dan Diskirminasi

563

Baca juga: Bupati Petrus Kasihiw: Mengucilkan Pasien Positif Corona Serupa Menghukum Saudara Sendiri

Masalah rasisme dan diskriminasi Papua selalu muncul setiap tahun sebagai masalah politik nasional yang memerlukan perhatian khusus.

Kerusuhan dengan korban harta benda dan jiwa yang sangat besar karena dipicu tragedi Surabaya dan Makassar bulan Agustus tahun 2019 yang lalu, telah menggoreskan luka yang sangat dalam, mencederai demokrasi sekaligus rasa kemanusiaan kita sebagai bangsa Indonesia.

Kita tidak bisa mengingkari bahwa masalah rasisme dan diskriminasi memang masih eksis dan menjadi bagian yang melekat dalam relasi sosial politik keseharian kita.

Rasisme dan diskriminasi bisa terjadi antar individu, antar kelompok masyarakat, dan bahkan dalam derajat tertentu muncul dalam beberapa regulasi ataupun kebijakan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah.

Secara struktural, rasisme dan diskriminasi ini bisa terjadi di bidang politik dan pemerintahan, bidang sosial dan ekonomi, maupun kemanan dan penegakan hukum; baik di Pusat maupun di Daerah.

Baca juga: 21 Bulan Gabriel Asem di UGM yang Berbuah Perubahan bagi Tambrauw, Papua Barat

Meskipun demikian, kita tidak bisa mengatakan bahwa rasisme dan diskriminasi adalah masalah sistemik.

Mengapa? Karena tidak ada satupun tindakan rasis atau diskriminatif yang muncul baik pada tingkat individu, kelompok, maupun apalagi pada level regulasi dan kebijakan, yang secara sengaja dirancang untuk tujuan itu.

Dimulai dari Diri Sendiri

Kita pasti sangat bisa memahami apa yang dirasakan saudara-saudara kita dari Papua. Di tanah leluhurnya mereka sering mendapatkan perlakuan tidak adil dari oknum pejabat maupun aparat. Ketika merantau ke luar Papua untuk kepentingan studi di tanah Jawa maupun wilayah lain misalnya, adik-adik mahasiswa juga sering mengalami penolakan ataupun sikap kurang bersahabat dari warga setempat.

Meskipun semua ini sifatnya hanya kasuistik (kasus per kasus) atau tidak menyeluruh dialami semua orang Papua, tetapi hal itu tetap saja menyakitkan.

Sangat wajar bahwa rasa sakit karena perlakuan yang tidak adil ini juga dirasakan oleh saudara-saudara kita dari Papua yang bahkan sama sekali tidak mempunyai pengalaman buruk seperti itu.

Baca juga: Willem Wandik: Membangun Papua Harus dengan Hati