Larangan Terompet Tahun Baru dan Polemik Fatwa MUI

848
Perayaan Natal dan Tahun Baru 2020 kembali menjadi isu yang menyinggung kerukunan antarumat beragama. Foto: Tempo
Perayaan Natal dan Tahun Baru 2020 kembali menjadi isu yang menyinggung kerukunan antarumat beragama. Foto: Tempo

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Baru-baru ini, dua kepala daerah tingkat dua blak-blakan melarang peniupan terompet dalam rangka perayaan Tahun Baru 2020.

Dua kepala daerah itu adalah Bupati Sambas Kalimantan Barat, Atbah Romin Suhaili, serta Bupati Bogor Jawa Barat, Ade Yasin.

“Kami melarang warga melaksanakan kegiatan yang kurang bermanfaat sehingga mengganggu keamanan dan ketertiban umum,” kata Atbah dalam surat edaran Nomor: 100/289/Tupem A, yang ditandatanganinya pada 26 Desember 2019, mengutip rilis Kompas.

Atbah menambahkan, malam pergantian tahun baru cukup dilakukan dengan berkumpul bersama keluarga di rumah dengan memanjatkan doa, renungan, dan introspeksi diri.

Sementara itu, dalam surat edaran, Ade Yasin menulis, “Tidak menyalakan kembang api, petasan dan peniupan terompet serta konvoi kendaraan bermotor”.

Kebijakan yang diambil Atbah dan Ade telah didahului oleh fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) tentang hukum menggunakan atribut nonmuslim.

Fatwa yang dikeluarkan pada 14 Desember 2016 itu menyatakan pemakaian atribut nonmuslim adalah haram.

Baca juga: Bagaimana Menghadapi Anak yang Sedang Tertarik dengan Lawan Jenis?

Dalam fatwa tersebut, tidak menyebut perayaan Natal dan Tahun Baru secara eksplisit.

Namun, ada dugaan fatwa tersebut merujuk atribut Kristen, seperti pohon cemara, pakaian Sinterklas, hingga terompet tahun baru.

Peneliti CRCS (Center for Religious and Cross-cultural Studies) UGM, Aziz Anwar Fachrudin, sangsi dengan luasnya pemaknaan ‘atribut nonmuslim’.

Dalam website resmi CRCS UGM, Azis menuangkan gagasannya pada tulisan berjudul Fatwa MUI, Atribut Natal, dan Soal Kerukunan.

Azis menyebut, hubungan kepemilikan suatu atribut oleh kelompok sesungguhnya cair mengikuti perkembangan zaman.

Karena itu, lanjut Azis, apa yang sebelumnya menjadi tradisi agama atau budaya tertentu, bisa diadopsi oleh agama atau budaya lain.

Lantas, suatu atribut itu kemudian menjadi tradisi bersama agama atau budaya yang mengikutinya.

Baca juga: Penyakit yang Timbul Akibat Melihat Kesuksesan Orang Lain di Media Sosial