Landung Simatupang: Lebih Memilih Jadi Seniman Lepas daripada Menambah Dosa ke Mahasiswa

1831

Pilihannya untuk meninggalkan pekerjaan sebagai dosen ternyata mampu dipertanggungjawabkan oleh pria berdarah Batak-Jawa ini. Buktinya, sejak melepas profesi dosen, berbagai profesi seperti aktor, sutradara teater, hingga penerjemah bisa dilakoninya dengan baik.

“Hasil dari pekerjaan-pekerjaan yang saya lakoni tak selamanya mendatangkan pemasukan yang lumayan ke keluarga, tapi kami tidak pernah kekurangan. Tiap pekerjaan punya berkah tambahan tersendiri. Misalnya, berkat film Sang Pemimpi, saya bisa pergi ke Vancouver (Kanada), Hararae (Zimbabwe), dan Australia tanpa biaya sendiri,” tegas Landung.

Riwayat Landung dalam membuat keputusan yang tidak umum di mata masyarakat awam, ternyata sudah dimulai sejak ia mengenyam bangku kuliah. Dikutip dari buku profil alumni SMA Kolese De Britto yang berjudul “Jejak-Jejak yang Mengepak”, Landung ternyata pernah menolak turut serta dalam mata kuliah Bahasa Perancis di tahun ketiga kuliah.

Masalahnya sederhana, di kala SMA Landung sudah belajar pelajaran itu. Dalam pandangannya pelajaran Bahasa Perancis yang didaptkannya saat SMA lebih berkualitas dibanding materi kuliah Bahasa Perancis yang diajarkan di Universitas.

“Saya memutuskan tidak masuk kelas. Tentu saja sikap seperti ini tidak bisa diterima. Akibatnya saya lulus sangat lama,” papar mantan aktivis Teater Gadjah Mada ini.

Pilihannya untuk keluar atau pun ‘memberontak’ dari kewajiban yang diberikan oleh UGM sebagai institusi ternyata tak membuat Landung enggan menjejakkan kaki lagi di kampus kerakyatan ini. Di usia senjanya ia bahkan masih rutin terlibat dalam beberapa pertunjukan teater yang diadakan oleh FIB atau jurusan Sastra Inggris.

Di tahun 2017 lalu, Landung malah membacakan puisi ciptaan Subagio Sastrowardoyo. Ia membacakannya dalam pameran kreasi seni karya alumni UGM yang dihelat di selasar ruang pameran PKKH dengan judul “Membongkar Bingkai, Membuka Sekat”.(Venda)