Kuliah Umum Kelapa Sawit: Penerapan Teknologi untuk Perkebunan Belum Optimal

1528
Industri perlu mewujudkan pertanian yang kompetitif dari aspek teknologi.(Foto: indoagribiz.com)
Industri perlu mewujudkan pertanian yang kompetitif dari aspek teknologi.(Foto: indoagribiz.com)

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Industri kelapa sawit sudah menginjak usia 108 tahun. Meskipun sudah sangat lama, industri kelapa sawit terus berusaha melakukan perkembangan dan menjawab berbagai tantangan zaman.

Tantangan ini menjadi tugas besar bagi semua pihak, termasuk akademisi di bidang pertanian. Hal ini disampaikan oleh Ir. Joko Supriyono dalam Kuliah Umum Peluang dan Tantangan Perkebunan Kelapa Sawit di Era Milenial pada Selasa (23/4/2019), di Auditorium Harjono Danoesastro, Fakultas Pertanian (Faperta) UGM.

Tantangan yang harus dihadapi oleh akademisi ini berhubungan dengan bisnis dan kompetisi kelapa sawit.

Joko memaparkan, hasil survei menunjukkan sebesar 47 persen permasalahan berasal dari produktivitas tanaman, di antaranya terdapat gap yield produksi terhadap potensi dari tanaman sawit indonesia selama 2008-2017.

Sementara 34 persen permasalahan datang dari biaya produksi yang tinggi. kabar terakhir, biaya produksi olahan kelapa sawit lebih tinggi dari Malaysia. Supaya industri kelapa sawit mampu bersaing, kata Joko, maka perlu ada penyelesaian dari masalah tersebut.

Kuliah Umum Peluang dan Tantangan Perkebunan Kelapa Sawit di Era Milenial.(Foto: Kinanthi)
Kuliah Umum Peluang dan Tantangan Perkebunan Kelapa Sawit di Era Milenial.(Foto: Kinanthi)

“Kelapa sawit lebih unggul dari kedelai dan bunga matahari dalam hal produktivitas dan pemanfaatan lahan. Meskipun lebih unggul, dalam industri kelapa sawit tersebut terdapat  gap. Perlu ada perbaikan dari 47 persen masalah produktvitas tanaman. Tugas seorang akademisi adalah berusaha meningkatkan jumlah hingga 6 atau 7 ton minyak per hektar per tahun,” papar Joko memberikan ide dan strateginya.

Sejauh ini banyak yang mempertanyakan seberapa besar efisiensi perkebunan? Jika dibandingkan dengan Malaysia, biaya efisiensi perkebunan Indonesia lebih mahal. Joko mengatakan bahwa biaya efisiensi tersebut mencapai  US$450 per ton. Sedangkan kemampuan SDM-nya pun terbilang masih rendah.

“Satu orang paling hebat bisa menggarap empat hektar. Dengan ini, dalam jangka panjang industri kelapa sawit belum mampu bersaing,” jelas alumnus Fakultas Pertanian UGM ini.

Untuk menjawab tantangan dan penyelesaian terhadap persoalan yang ada, penting bagi industri kelapa sawit agar bisa meningkatkan produksi dengan pembiayaan yang bisa ditekan. Penerapan teknologi merupakan salah satu cara untuk mengurangi biaya produksi. Manfaat dari penerapan teknologi di antaranya meningkatkan produktivitas, menyederhanakan proses bisnis.

“Saat ini semua sedang mencoba teknologi genomik. Dengan teknologi ini kita bisa mempercepat proses mendapatkan tanaman yang unggul. Setelah ini dilakukan persilangan, kemudian tissue culture,” ujar Joko.