Konflik Papua Kian Masif di Tengah Gencarnya Pembangunan, Mengapa?

465

Baca juga: Membangun Jogja yang Aman dan Nyaman dengan Nilai-nilai Budaya Istimewa

“Persoalannya, masyarakat yang ketinggalannya jauh dan masyarakat yang berkembang pesat sekali dianggap lumrah. Ketimpangan dianggap wajar. Yang cepat menganggap yang lain tertinggal, yang tertinggal menganggap ketertinggalan mereka sebagai suatu ketidakadilan,” ujar Mohtar.

Kompetisi yang Tidak Sehat Berpotensi Menimbulkan Konflik

Jurang perbedaan yang struktural ini menimbulkan deprivasi (kesenjangan) relatif.

Tekanan pertumbuhan ekonomi dan pasar menimbulkan persoalan, terutama pada ketimpangan antar pelaku ekonomi.

“Akumulasi ekonomi tidak peka terhadap kondisi lokal, sehingga dapat menimbulkan kompetisi yang tidak sehat. Ketegangan ini berpotensi menimbulkan konflik,” ungkap Mohtar.

Konflik itu juga merupakan bentuk kecemasan massa akibat kehilangan kendali atas urusan sendiri dan tidak mampu ikut serta dalam menentukan kebijakan masa depannya.

Baca juga: Bandara YIA Rampung Akhir Tahun, Presiden Berharap Kunjungan Wisman ke DIY dan Sekitarnya Meningkat

Mohtar melihat terdapat dilema melting pot.

Migrasi yang terjadi demi memenuhi kebutuhan ekonomi lokal akan SDM vs hilangnya kendali lokal.

Konflik Menjadi Salah Satu Bagian dari Praktik Budaya di Papua

Dijelaskan oleh Lele, sebetulnya konsep citizenship yang ditawarkan sebagai jalan keluar ini terlalu besar untuk Papua, terlalu dipaksakan.

Konflik pada dasarnya merupakan bagian dari praktik budaya di Papua.

Sejauh ini konflik terbanyak berbau separatis.

Baca juga: Rimawan Pradiptyo, Ekonom UGM yang Membawa Ilmu Experimental Economics ke Indonesia