Baca juga: Strategi Memilih Pengasuh Anak yang Tepat
Terutama karena kesadaran konservasi satwa liar masih rendah, baik di level masyarakat maupun para pengambil kebijakan.
Kemudian ditambah lagi dengan cuaca ekstrem, bencana alam, dan global warming, yang membuat kepunahan satwa liar makin bertambah hingga digantikan oleh kehidupan lain.
Menurutnya, tidak mudah mendamaikan konflik-konflik kepentingan yang merebutkan ruang hidup antara satwa liar dan manusia dalam realitas sosio-ekonomi Indonesia.
Selain itu, tantangan terberat konservasi satwa liar adalah kelemahan inovasi teknologi pertanian dan rendahnya ketersediaan lahan.
Sebab hal ini akan meningkatkan kompetisi satwa dan manusia.
Baca juga: Sutanto Abdullah Ingin Jadikan KAGAMA Jember sebagai Rumah yang Menyenangkan bagi Alumni
Dia mengatakan, konservasi satwa liar pada dasarnya membutuhkan metodologi transdisipliner yaitu integrasi dan koordinasi disiplin-disiplin ilmu dengan inovasi masyarakat.
“Ilmu konservasi bukanlah ilmu bebas nilai, maka etika konservasi harus menjadi pemandu dalam pengambil keputusan,” tuturnya.
Menurut Satyawan, manusia menjadi penyebab kepunahan satwa sekaligus harapan bagi terciptanya kelestarian satwa.
Dewasa ini, sebagian manusia memiliki kemajuan berpikir, seperti menjadikan konservasi keanekaragaman hayati sebagai sesuatu yang abstrak, tetapi menjadi kebutuhan nyata bagi manusia.
Untuk itu, diperlukan inovasi metodologi konservasi satwa liar untuk menyelesaikan tantangan terberatnya.
“Dalam hal ini, konservasi satwa liar selalu menekankan pada keseimbangan kepentingan antara kelestarian populasi satwa liar sebagai target pengelolaan, jenis yang berasosiasi serta habitat di satu sisi dan kepentingan manusia di sisi lain,” jelasnya.
Dengan demikan, kata dia, sebetulnya konservasi satwa bisa dibilang sebagai ilmu sekaligus seni. Sebab, mampu meramu berbagai disiplin ilmu dan seluruh pemangku kepentingan.(Kn/-Th)
Baca juga: KAGAMA Virtual Ajak Masyarakat Bantu Sumbang Sepatu untuk Siswa SMPN 1 Turi
