Kembangkan Ekonomi Kerakyatan dengan Teknologi Digital

347
Ekonom senior sekaligus pendiri lembaga penelitian CORE (Centre of Reform On Economics) Indonesia, Hendri Saparini, menilai Basis kekayaan atau kekuatan itu bisa berasal dari kebudayaan masyarakat setempat, kemampuan atau keahlian sumber daya manusianya, dan sumber daya alam yang dimiliki di suatu daerah yang dapat diperkuat nilai ekonomi dengan teknologi digital. Foto : Dodhi/KAGAMA
Ekonom senior sekaligus pendiri lembaga penelitian CORE (Centre of Reform On Economics) Indonesia, Hendri Saparini, menilai Basis kekayaan atau kekuatan itu bisa berasal dari kebudayaan masyarakat setempat, kemampuan atau keahlian sumber daya manusianya, dan sumber daya alam yang dimiliki di suatu daerah yang dapat diperkuat nilai ekonomi dengan teknologi digital. Foto : Dodhi/KAGAMA

KAGAMA.CO, JAKARTA – Memasuki revolusi industri 4.0, Indonesia tidak perlu hanya terfokus pada industri manufaktur.

Optimalisasi di bidang seni budaya, pertanian, dan kerajinan yang selama ini didominasi rakyat kecil justru perlu diperkuat dengan menggunakan teknologi digital maka Indonesia berpeluang menggunakan teknologi digital dan internet untuk mengembangkan ekonomi kerakyatan.

Pandangan itu disampaikan ekonom senior sekaligus pendiri lembaga penelitian CORE (Centre of Reform On Economics) Indonesia, Hendri Saparini.

“Kita mesti paham bahwa sebagian besar industri kita masih 3.0 atau bahkan 2.0 dan sebagian besar sumber daya manusia kita belum siap secara pendidikan dan keterampilan untuk memasuki Revolusi Industri 4.0,” ujarnya kala ditemui KAGAMA di Jakarta belum lama ini.

Menurut Hendri, bicara Revolusi Industri 4.0 maka saat ini tidak mudah bagi Indonesia untuk bersaing dengan negara lainnya, seperti Jerman, Cina, Korea Selatan, dan Jepang di industri manufaktur karena global value chain mereka sudah jadi.

Bahkan usaha kecil menengah (UKM) mereka pun sudah menghasilkan produknya secara masal, dipasarkan ke mancanegara, dan mampu berinvestasi ke mancanegara.

Sementara kondisi industri di Indonesia sebagian besar investasinya masih untuk pasar domestik dan baru menyiapkan global chain market-nya.

Industri kita pun masih digerakkan UKM dan kondisinya tidak seperti UKM yang ada di Jepang, Korea, atau Cina.

“Pelaku usaha kecil mendominasi porsi UKM di Tanah Air, dengan berbagai situasi yang ada tersebut harus ada mitigasi terhadap mereka.

“Apa yang harus kita lakukan agar di era teknologi digital ini mereka tetap mendapat manfaat?” papar wanita kelahiran Kebumen ini.

Kalau melihat melihat kajian dari Kementerian Perindustrian maka Indonesia mesti melakukan banyak hal, misalnya meningkatkan kualitas sumber daya manusia, menyiapkan UKM, bahkan menyiapkan kawasan ekonomi.

Masih banyak yang perlu lakukan Indonesia agar berada satu level dan global value chain-nya terbentuk seperti halnya negara lain-lain yang sudah mapan industri manufakturnya.

“Atau jangan-jangan Indonesia malah memiliki kekhasan yang tidak dimiliki negara lain yang saat ini amat kompetitif di industri manufaktur.”

“Di era teknologi digital seharusnya kita mencari ceruk-ceruk baru agar bisa melakukan “lompatan”.”

“Artinya, kita tak perlu mengikuti tangga orang lain, tapi kita memiliki tangga sendiri.”

“Kita bukan seperti Cina yang industri manufakturnya yang meski digarap di level rumah tangga atau home industry tapi sudah kompetitif hingga mampu merambah pasar mancanegara,” cetus Hendri.

Pemanfaatan Teknologi Digital

Bicara pembangunan infrastruktur digital atau internet, dia menilai, Indonesia bisa dikatakan sudah luar biasa.

Pembangunan fiber optik yang dilakukan Telkom dan pembangunan tol langit dengan pemanfaatan teknologi satelit Palapa Ring sudah cukup untuk dimanfaatkan untuk lima hingga tujuh tahun ke
depan.

“Dari sisi masyarakat, kita juga punya keunggulan karena penetrasi internetnya sudah mencapai 60 persen.”

“Walaupun pekerja kita masih didominasi yang berpendidikan Sekolah Menengah Pertama ke bawah, tapi mereka sudah melek internet.”

“Artinya, untuk ditingkatkan masuk ke e-commerce sebenarnya jadi lebih mudah,” katanya.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dikatakan angka pengangguran turun, tapi faktanya banyak keluhan bahwa mencari lapangan kerja sulit didapat.

Dia menilai, fakta itu dua-duanya benar, orang susah mencari lapangan kerja yang dulu, sebab dengan adanya teknologi lapangan pekerjaan itu hilang.

Namun, muncul lapangan kerja baru dimana mereka tidak siap untuk masuk ke lapangan kerja tersebut.

“Oleh sebab itu kita mesti banyak mengadakan pelatihan yang bisa meningkatkan kemampuan seseorang, itulah mitigasinya.”

“Mitigasi lainnya, kita mesti mencari basis kekayaan atau kekuatan kita di mana lalu diperkuat dengan memanfaatkan teknologi.”

“Basis kekayaan atau kekuatan itu bisa berasal dari kebudayaan masyarakat setempat, kemampuan atau keahlian sumber daya manusianya, dan sumber daya alam yang dimiliki di suatu daerah.

Contoh, seorang penjual sate yang berpendidikan Sekolah Dasar bisa meningkatkan penjualan dan memasarkan sate dagangannya dengan memanfaatkan internet.

Atau seorang pengerajin yang punya hasil karya berkualitas juga dapat menggunakan internet untuk menjual produknya hingga ke mancanegara.

“Contoh lainnya, pertunjukan Sendratari Ramayana yang kerap digelar di Candi Prambanan.”

“Sebenarnya, dari segi kualitas pertunjukan sangat bagus, kualitas penarinya bagus, alur ceritanya jempol, dan tempatnya juga apik.”

“Sayangnya, pertunjukan ini kurang terkenal hingga ke mancanegara karena kurangnya sentuhan teknologi,” ucap anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional Republik Indonesia itu.

Hal ini berbeda dengan pertunjukan di Kota Xian, Cina, yang memadukan seni tari dengan teknologi.

Pertunjukannya sangat atraktif karena memanfaatkan teknologi digital sehingga mampu memberikan efek visual yang memukau penonton.

Lantas pertunjukan ini diviralkan lewat media sosial di internet hingga jadi booming dan wisatawan sampai harus mengantri untuk menonton pertunjukan tersebut.

Hendri berpandangan, pendekatan yang sama semestinya bisa kita lakukan dengan Sendratari Ramayana di Prambanan.

Itu baru satu, sementara seni pertunjukan juga ada di daerah lainnya di Indonesia.

Ada banyak kesenian dan budaya yang kita miliki dengan keunikannya sendiri.

“Di era digital ini, kita mestinya memanfaatkan teknologi untuk membuat setiap orang jadi lebih baik.”

“Ini suatu lompatan yang mesti ada captive market-nya dulu.”

“Caranya seperti apa? Jadi, daripada para BUMN membuat acara kesenian sendiri.”

“Jika mereka butuh acara budaya sendiri, maka mereka bisa membeli tiket pertunjukan sendratari Ramayana itu.”

“Bila ada yang nonton dan beli tiket tentu pertunjukan akan jalan, kolaborasi seperti ini juga diperlukan,” tutur anak keenam dari 10 orang bersaudara ini.

Menurutnya, di masa teknologi digital ini justru filosofi ekonomi kita yakni ekonomi kerakyatan bisa terwujud.

Kita bisa menerapkan demokrasi ekonomi yang memungkinkan semua stakeholder ikut serta menggerakkan roda ekonomi.

Karena di era digital ini yang terpenting adalah ekosistem dan ekosistem itu membutuhkan banyak pihak untuk bekerja sama dan tidak dikerjakan sendiri.

“Saya meyakini, Indonesia dengan segala kekayaan budaya, sumber daya manusia, dan sumber daya alamnya menjadi pembeda.”

“Kebhinekaan inilah yang menjadi kekayaan bangsa kita yang tidak bisa ditiru negara lainnya.”

“Semua ini bisa dikembangkan jadi lebih baik dengan memanfaatkan teknologi digital,” pungkas Hendri. (Jos)