Kedudukan Janda Setelah Putus Perkawinan di Kabupaten Karo

2051

Putus perkawinan karena perceraian

Dengan kondisi ini, kedudukan janda baik adanya anak atau tidak ada anak, menimbulkan beberapa kedudukan.

“Janda kembali atau dipulangkan ke kerabat dari orang tuanya. Akibat dari perceraian ada hubungan yang kurang baik antara kerabat satu sama lain,” tulis Bill dalam tesisnya yang berjudul Kedudukan Janda Dalam Masyarakat Batak Toba Setelah Putusnya Perkawinan Karena Kematian dan Karena Perceraian di Kabupaten Karo tahun 2017.

Untuk janda yang menginkan perceraian, maka uang sinamot yang diberikan kepada kerabat perempuan saat pernikahan dikembalikan.

Selain itu, janda juga tidak berhak atas harta, kecuali jika ada kesepakatan kedua belah pihak.

Walaupun demikian, suami tetap berkewajiban menafkahi anak-anaknya.

Hak waris setelah putus perkawinan

Dalam situasi ini, janda tidak berhak untuk menikmati maupun mengelola harta suami untuk kebutuhan sehari-hari.

Harta warisan ini akan diteruskan pada anak-anaknya.

Apabila tak memiliki anak, maka akan diberikan kepada kerabat suaminya yang laki-laki.

Bill menyebutkan, hal ini berbeda dengan kedudukan janda terhadap harta warisan almarhum suami melalui Yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 20 April 1960 No. 110K/Sip/1960.

Aturan ini menjelaskan bahwa sesuai hukum adat, janda juga berhak menjadi ahli waris.

Kemudian berkembang lagi lewat Putusan Mahkamah Agung tanggal 14 Juni 1960 No.100K/Sip/1967, yang membagikan hak waris dari almarhum suami kepada janda.

Hal ini kemudian mengubah kedudukan janda dalam masyarakat Batak Toba.

Dari temuan ini, Bill menyimpulkan adanya ketidakjelasan kedudukan janda dan diskriminasi terhadap janda perihal harta warisan.

Menurutnya, perlu peran aktif dari kepala adat atau ketua adat masyarakat Batak Toba terkait kedudukan janda ini.

Begitu juga dengan lembaga peradilan, khususnya hakim, untuk mempertimbangkan kesamaan kedudukan janda dengan laki-laki soal pembagian harta warisan. (Kinanthi)