Jika Perlu, Ada Simulasi New Normal

333

Baca juga: Cerita dari Wakil Bupati Banyumas, Kuliah di Kampus Kerakyatan Sambil Jualan Buku Karya Sendiri

Karena kebijakan social distancing, orang dituntut untuk berkomunikasi secara virtual dan mengoptimalkan pelayanan online dalam bekerja.

Kondisi ini yang kemudian dianggap sebagai normal baru. Menurut Gitadi, normalitas tersebut bisa disebut sebagai fenomena hiperealitas.

“Kita menerapkan tatanan baru, tidak hanya untuk kebutuhan, tetapi juga untuk sebuah simbol,” ujar alumnus FISIPOL UGM angkatan 1979 ini.

Simbol yang dimaksud adalah tanda negara menuju kemajuan di era teknologi.

Di saat yang sama juga menjadi simbol bahwa negara akan segera bangkit dari keterpurukan akibat pandemi, meskipun seolah-olah hal tersebut terkesan dipaksakan.

Baca juga: Mahasiswa KKN Bisa Jadi Penyambung Lidah Informasi antara Pemerintah dan Masyarakat di Masa Pandemi

Gitadi menerangkan, normalitas menjadi sebuah abnormalitas ketika orang membeli simbol.

Menurut pria asal Bandung, Jawa Barat ini, persiapan new normal seharusnya dilalukan dengan mendekonstruksi berbagai kebijakan, dengan menyesuaikan syarat-syarat new normal yang dikeluarkan WHO.

Baginya, new normal adalah tatanan yang memuat revitalisasi, refocusing, dan efisiensi. Pemerintah harus memetakan ulang kebijakan-kebijakan yang ada.

“Pada ujungnya nanti diharapkan lahir kebijakan-kebijakan yang berbasis riset dan fakta. Jika perlu ada simulasi new normal,” tandasnya.

Menggunakan perspektif Pemkab Banyuwangi, Gitadi menyarankan, dalam persiapan new normal, agar dilakukan pemetaan-pemetaan kebijakan yang berbasis sektor. Kemudian dikombinasikan dengan penyusunan klaster.

Baca juga: New Normal Bisa Jadi Kesempatan Memperbaiki Pola Hidup