Jaka Tingkir adalah Tokoh di Balik Penamaan Kabupaten Magelang

2178
Dosen UNY alumnus Filsafat UGM, Dr. Purwadi, M.Hum, menyebut asal usul nama Magelang tidak lepas dari peranan Jaka Tingkir. Foto: visitmagelang
Dosen UNY alumnus Filsafat UGM, Dr. Purwadi, M.Hum, menyebut asal usul nama Magelang tidak lepas dari peranan Jaka Tingkir. Foto: visitmagelang

KAGAMA.CO, YOGYAKARTA – Kota sejuta bunga adalah sebutan yang kini melekat dengan Magelang.

Sebutan tersebut muncul pada era kolonial. Waktu itu, orang Belanda memberikan julukan Tuin van Java yang diasosiasikan dengan taman indah berapit gunung dan bukit.

Deskripsi yang demikian memang tak salah. Untuk mengetahuinya, mari mundur ke waktu yang lebih lampau. Tepatnya pada 11 April 907 Masehi, saat kota yang satu ini masih bernama Desa Mantyasih.

Waktu itu, Pemimpin Kerajaan Medang, Raja Dyah Balitung, menetapkan Desa Mantyasih sebagai derah perdikan (bebas pajak). Penetapan itu termaktub dalam Prasasti Mantyasih.

Ketua Lokantara (Lembaga Olah Kajian Nusantara), Dr. Purwadi, M.Hum., mengatakan, Prasasti Mantyasih menggambarkan Magelang sebagai negeri yang unggul, agung, makmur, aman, serta damai.

Baca juga: Syawalan Daring Jadi Momentum KAGAMA untuk Semakin Guyub Rukun dan Migunani

Adapun Mantyasih memiliki makna beriman dalam cinta kasih. Konsep wilayah perdikan nyatanya tetap lestari meski era telah berganti.

Saat Kesultanan Pajang berdiri, Sultan Hadiwijaya (raja pertama: 1549-1582 M) menjadikan daerah-daerah tertentu sebagai wilayah perdikan.

“Misalnya wilayah yang diapit Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Telamaya, Gunung Ungaran dan Gunung Menoreh,” kata Purwadi kepada Kagama.

Hingga suatu ketika, Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir mendapat ilham atas Mantyasih.

Hal itu terjadi saat dia naik perahu sampan (gethek), untuk berhulu melintasi Kali Serang.

Baca juga: Saran Bupati Kabupaten Puncak Alumnus UGM untuk Hadapi Kelangkaan Pangan: Kembali ke Tradisi Leluhur