Geolog UGM Diamanahi Jadi Wakil Presiden Asosiasi Panas Bumi Internasional

574

Baca juga: Mahasiswa Biologi UGM Bicarakan Soal Perubahan Iklim dalam Forum Internasional

Namun, hal ini menyesuaikan tingkat kebutuhan daya listrik yang diinginkan.

“Dulu untuk satu lokasi eksplorasi butuh waktu hingga 10-15 tahun agar bisa produksi,” ucap Pri Utami.

“Akan tetapi, sekarang dengan teknologi dan pengetahuan yang ada, cukup 5-6 tahun sudah bisa produksi,” jelas lulusan S3 University Auckland, Selandia Baru tersebut.

Biaya yang tidak sedikit memang tidak terbantahkan. Kendati demikian, Pri Utami mengklaim daya listrik yang dihasilkan bisa bertahan lama, ratusan hingga ribuan tahun.

Hal itu bisa diperoleh jika pengelolaan dilakukan dengan baik, yakni dengan memanfaatkan air hujan yang masuk ke perut bumi.

Baca juga: Ketua Dewan Riset Nasional Sebut Alasan Jepang Unggul dalam Inovasi Makanan Lokal

Pri Utami memandang, pemanfaatan potensi energi panas bumi yang belum optimal terjadi tidak hanya Indonesia. Akan tetapi, hampir di seluruh belahan dunia.

Kata dia, Indonesia punya potensi energi panas bumi hingga 20.000 Megawatt yang tersebar di beberapa titik. Hanya, hingga saat ini, baru 2.113 Megawatt yang sudah dimanfaatkan.

Menurutnya, kendala terbesar dalam pengelolaan energi panas bumi adalah biaya, komitmen pengambil kebijakan, dan kesiapan sumber daya manusia.

“Melalui IGA, saya ingin berkontribusi lebih banyak untuk menggalang kerja sama internasional dengan berbagai banyak kepala pemerintahan, organisasi dunia, industri dan lembaga pendidikan,” ucap Pri Utami.

“Hal itu guna mendorong pendidikan dan riset bidang panas bumi semakin maju dan berkembang,” pungkas wanita kelahiran 1966 tersebut. (Ts/-Th)

Baca juga: 19 Tahun Jadi Jurnalis, Alumnus Sosiologi UGM Ini Merasa Terbantu dengan Ilmunya Selama Kuliah