Familirization Trip 2017 di Desa Wisata Tlatar Kandangan

710

ASAL-usul istilah Tlatar Kandangan bermula dari cerita Babad Mataram di zaman Sultan Agung. Di masa itu, pemberi nama dusun adalah Kanjeng Sultan. Tlatar bermakna latar, pelataran, halaman, sedangkan kandangan berarti kandang ternak. Dahulunya, dusun Tlatar Kandangan memang masih berupa hutan dengan beragam binatang buas, seperti kera, harimau, dan ular. Kini, dusun itu telah berubah menjadi desa wisata dengan berjuta potensi dan beribu kenangan, bernama Desa Wisata Tlatar Kandangan.

Desa yang merupakan salah satu bagian dari 34 dusun yang berada di Kelurahan Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta ini berhasil mengadakan festival budaya Merti Bumi Kembul Bujono, Ahad (19/11/2017).

‘’Kegiatan ini sebagai wujud rasa syukur masyarakat Tlatar terhadap hasil panen,’’ jelas Amalia Vivi Rahmadani (18), warga setempat.

Suasana kenduri yang meriah bersama warga Tlatar Kandangan, Wonokerto, Turi, Sleman [Foto Dito Anurogo]
Suasana kenduri yang meriah bersama warga Tlatar Kandangan, Wonokerto, Turi, Sleman [Foto Dito Anurogo/KAGAMA]
Festival yang telah kedua kalinya berlangsung itu diadakan satu tahun sekali, setiap bulan Sapar, dalam lingkup desa. ‘’Pelopornya adalah Kyai Badari Salim, Setyo Prayitno, dan Siswo Sudjarno selaku sesepuh dusun,’’ ungkap Supardi, pernah menjabat sebagai Ketua RT 01 selama delapan tahun.

Uniknya, Merti Bumi Kembul Bujono menyajikan berbagai atraksi, seperti kirab hasil panen atau hasil bumi, pawai budaya, arak-arakan gunungan buah-buahan, di antaranya nanas, belimbing, rambutan, alpukat, apel, pisang kuning, pisang hijau, salak, dan gunungan sayuran berisi kol, lombok merah, wortel, terung ungu, pare, sawi, kacang panjang, dan sebagainya, yang ditandu masing-masing oleh empat orang bergada prajurit. Kedua gunungan itu berupa tumpengan makanan yang dibuat oleh ibu-ibu PKK.

‘’Persiapannya sendiri memakan waktu dua minggu dari bersih-bersih hingga menyiapkan tumpeng,’’ kata Amalia Vivi Rahmadani (18), ‘’sekitar 50 pemuda dan bapak-bapak ikut merangkai tumpengan tersebut,’’ lanjut mahasiswi Universitas Negeri Yogyakarta, jurusan Pendidikan Sosiologi 2017.