Faktor yang Membuat Adaptasi Kebiasaan Baru Sulit Diterapkan di Angkutan Perkotaan

587

Baca juga: Seruan Sedekah Kebangsaan Ketua KAGAMA Sumsel untuk Meriahkan HUT Kemerdekaan ke-75 Republik Indonesia

Menurut Wihana, aturan main penerapan AKB di sektor transportasi sudah jelas.

Akan tetapi, hanya operator transportasi korporatif yang punya sumber daya memadai untuk mengeksekusi aturan maupun rule enforcement terhadap penumpang.

Transportasi korporatif yang dimaksud Wihana seperti KRL, MRT, Busway, kereta jarak jauh, bus antarkota Damri, dan kapal Pelni, yang sebagian besar merupakan milik BUMN.

“Namun, tak demikian dengan  angkutan perkotaan yang jumlahnya ribuan di pinggiran Jabodetabek,” kata Wihana, yang juga Staf Khusus Urusan Ekonomi dan Investasi Transportasi Menteri Perhubungan Republik Indonesia.

“Mereka beroperasi di lintas wilayah kabupaten/kota dengan penumpang beraneka ragam. Seperti ibu rumah tangga, pedagang pasar, dan warga lainnya.”

Baca juga: Dosen IAIN Bengkulu Alumnus UGM: Tenaga Pendidik Harus Lebih Kreatif dalam Pembelajaran Daring

“Pemda mungkin tak memiliki sumber daya cukup untuk menegakkan protokol kesehatan terhadap pemilik, sopir, maupun penumpang,” jelasnya.

Wihana mengatakan, ada empat faktor yang membuat masyarakat tidak patuh pada protokol kesehatan sebagai budaya tatanan baru.

Pertama, perilaku hidup kurang sehat yang sudah turun-temurun sulit cepat berubah.

Kedua, keterbatasan akses untuk masker dan disinfektan karena ketersediannya tak merata.

Ketiga, biaya penyediaan masker, penyanitasi tangan, dan disinfektan cukup memberatkan sebagian warga.

Baca juga: Cerita Alumnus Filsafat UGM Gagas Platform Digital untuk Bangkitkan UMKM di Panggungharjo