Disiplin Kunci Kemenangan Melawan Covid-19

1250
Curhatan dr. Jagaddhito Probokusumo, Residen Jantung dan Pembuluh Darah FKKMK UGM-RSUP Dr. Sardjito yang tengah bertugas sebagai tenaga medis. Foto: Dok Pri
Curhatan dr. Jagaddhito Probokusumo, Residen Jantung dan Pembuluh Darah FKKMK UGM-RSUP Dr. Sardjito yang tengah bertugas sebagai tenaga medis. Foto: Dok Pri

dr. Jagaddhito ProbokusumoOleh dr. Jagaddhito Probokusumo*

 

BULAKSUMUR – Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mencatat 55 tenaga kesehatan meninggal dunia selama pandemi COVID-19 berlangsung di Indonesia (6/5/2020). Menurut data dari Gugus Tugas, sampai saat ini ada 38 dokter dan 17 perawat yang meninggal. Jumlah ini masih terus diupdate setiap harinya karena masing-masing organisasi profesi juga membentuk tim untuk melacak penyebab kematian para anggotanya selama pandemic Covid-19.

Hal yang perlu dicatat, jumlah korban tenaga kesehatan ini sangat mungkin bisa bertambah setiap harinya dikarenakan laju penyebaran Covid-19 masih belum mencapai puncaknya. Case Fatality Rate (CFR) atau tingkat kematian virus corona di Indonesia saat ini (11/5/2020) ada di angka 6.93%, sedangkan data yang dihimpun oleh Research Center Johns Hopkins University (5/5/2020) menunjukkan rata-rata CFR wabah corona di dunia saat ini ada di angka 7,01 %. Dari angka tersebut maka Indonesia masih memiliki tingkat kematian yang masih tinggi sesuai dengan rata-rata kematian dunia akibat pandemi ini

Fakta Berbicara

Ibarat perang, saat ini stigma yang beredar di masyarakat adalah tenaga kesehatan merupakan garda terdepan dalam perang melawan Covid-19, karena kami yang berhadapan langsung dengan penderita Covid-19. Kondisi ini perlu kami luruskan bahwa kami (tenaga kesehatan) bukanlah garda terdepan, kami adalah benteng terakhir dalam penanganan pandemi Covid-19 ini. Kami adalah pasukan terakhir dalam peperangan melawan Covid-19. Andalah (Masyarakat) yang menjadi garda terdepan dalam peperangan ini karena masyarakat adalah kunci untuk memutus mata rantai penyebaran virus.

Bagaimana caranya? Caranya adalah dengan membuat pergerakan masyarakat berhenti. Jika masyarakat diam, maka virus akan diam. Jika masyarakat bergerak maka virus akan ikut bergerak. Karena itu berdiam diri di rumah merupakan strategi paling efektif untuk menekan pergerakan virus ini agar tidak ke mana-mana. Strategi pemerintah seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) atau lock-down tidak akan ada artinya jika masyarakat tidak patuh untuk berdiam diri di rumah.

Baca juga: Hubungan Indonesia dan Rusia Terjalin Baik Berkat Islam

Benteng Terakhir

Makna tenaga kesehatan sebagai benteng terakhir dalam berperang melawan Covid-19 adalah: (1) Rumah Sakit (RS) adalah sumber paparan terbesar untuk terjangkit virus corona baik bagi pasien maupun tenaga kesehatan. (2) Tenaga kesehatan adalah profesi yang tidak bisa meninggalkan tugas profesinya dan tidak bisa digantikan perannya dalam pelayanan kesehatan dalam situasi pandemi sekalipun. (3) Terinfeksinya tenaga kesehatan akan menjadi sumber penularan baru Covid-19 yang berpotensi menyebarluaskan virus kepada pasien yang dirawat di RS, keluarga tenaga kesehatan dan sesama teman sejawat. (4) Sakitnya tenaga kesehatan secara langsung akan menurunkan kemampuan RS untuk menolong pasien Covid-19. (5) Semakin banyak tenaga kesehatan yang tumbang di RS, semakin sedikit tenaga yang dapat diupayakan untuk menolong nyawa manusia.

Kondisi di Lapangan

Jujur, hari sejak Covid-19 hadir di tengah kami merupakan saat-saat tersulit bagi kami. Kami sebagai dokter juga memiliki rasa takut yang sama seperti Anda semua. Kami juga memiliki keluarga dan kawan yang ingin kami lindungi. Kami takut namun kami tidak boleh takut. Kami sedih namun kami harus kuat. Kami ragu namun kami harus yakin.

Saat ini kami tidak tahu mana kawan mana lawan. Mana pasien yang membawa virus Covid-19 dan mana yang tidak. Dalam kondisi pandemi, kemungkinan semua pasien yang datang ke RS dan yang kami periksa adalah pasien Covid-19. Kami tidak dapat bergerak dengan leluasa dikarenakan Alat Pelindung Diri (APD) kami yang sangat tertutup. Masker N-95 yang menjaga kami selama bertugas sangat pengap dan menyulitkan kami untuk bernafas karena rapatnya permukaan masker. Embun yang tercipta di lensa kacamata menyulitkan kami untuk melihat lingkungan sekitar. Kita tidak bisa berinteraksi langsung dengan pasien kita secara leluasa tanpa menggunakan APD lengkap mulai dari kacamata pelindung, hazmat, sarung tangan, masker N95, sampai sepatu boot.

Saya pribadi pernah menggunakan APD level 3 selama kurang lebih 2 jam di ruangan bertekanan negatif, hal itu merupakan pengalaman yang sangat tidak menyenangkan bagi kami tenaga kesehatan. Badan kami terasa sangat panas, pengap, berkeringat dan susah untuk bernafas. Kami harus menahan diri jika ingin ke kamar mandi. Kami harus menahan lapar dan haus jika ingin makan dan minum. Bahkan untuk sekadar menggaruk badan pun kami kesulitan. APD tidak bisa kami lepaskan begitu saja mengingat ketersediaan APD yang terbatas.

Saya membayangkan bagi rekan-rekan yang bertugas di pusat penanganan Covid-19 seperti di Wisma Atlet atau RSUP Persahabatan pasti jauh lebih “tersiksa” dibandingkan kami yang memakainya selama sementara saja. Tidak berjam-jam sesuai pembagian shift yang bertugas (ada yang 1 shift berdurasi 8 jam dan ada yang 1 shift berdurasi 12 jam). Apalagi di tengah kondisi puasa seperti ini di mana secara fisik pasti lebih berat untuk dijalani.

Baca juga: Midreuni Fakultas Pertanian Angkatan 72, Sebuah Perjalanan yang Bikin Susah Move On