Direktur Manufaktur PT Kalbe Farma, Agusta Siswantoro Paparkan Implementasi Teknologi di Industri Farmasi

657

Baca juga: Fakultas Kehutanan UGM Bangun Student Co-Working Space Ramah Lingkungan

Agusta mencontohkan, kini untuk cek gula darah tak perlu ambil darah, tetapi bisa dideteksi melalui air mata.

“Sistem akan memberikan diagnosa penyakit, jika langsung ketahuan sakitnya, maka akan langsung keluar obat. Bila diduga terkena penyakit parah, sistem akan menyarankan kita untuk pergi ke dokter spesialis,” ujar alumnus Fakultas Farmasi UGM angkatan 1985 itu.

Sementara di Indonesia pengembangan model bisnis ini masih terhambat, karena dokter masih berorientasi pada pemeriksaan secara langsung dengan pasien.

Selanjutnya dari segi infrastruktur, Agusta mengatakan perubahan terjadi pada quality assurance dan quality control, yang prosesnya lebih cepat.

Lalu pada production and maintenance, ada 3D printing bisa mencetak apapun dari barang mentah hingga jadi, tanpa perlu beli sparepart mesin.

Baca juga: Perjalanan Hidup Bambang Purwoko dan Dedikasinya Membangun Pendidikan di Papua

“3D printing mengubah total industri farmasi. Kini di rumah sakit, selain meberi pelayanan, bisa juga memproduksi obat sendiri. Dicetak paling butuh waktu seminggu, sehingga stabilitas produk cepat. Ada obat baru juga bisa cepat diproduksi. Satu mesin bisa bikin obat apa saja. Ini memudahkan tenaga kesehatan mendapatkan obat khusus yang biasanya membutuhkan studi cukup lama sebelum diproduksi,” jelas Agusta.

Masih terkait infrastruktur, perubahan juga terjadi pada segi logistik.

Mesin Radio Frequency Identification (RFID), yang berfungsi sebagai detektor di gudang obat.

Ini memudahkan tenaga farmasi untuk mengetahui dengan cepat stok obat yang dibutuhkan.

“Kemudian ada GPS yang bisa memonitor suhu di dalam kendaraan. Ada lagi drone khusus yang dimanfaatkan untuk mendistribusikan obat ke daerah-daerah terpencil,” ungkap Agusta.

Baca juga: Ketua Pengda KAGAMA Sumut Hamied Wijaya Raih Penghargaan Insan UGM Berprestasi 2019

Agusta mengatakan, berbagai implementasi teknologi itu sudah berkembang di luar negeri.

Indonesia boleh bermimpi dan pastinya akan perlahan-lahan menuju ke sana.

Revolusi industri 4.0, kata Agusta, mensimulasikan pekerjaan manusia, sehingga sebetulnya peran manusia tidak akan tergantikan bila manusia bekerja sebagai analytcal development.

“Jadi, skil yang dibutuhkan apoteker masa kini yaitu kemampuan mengembangkan formula, inovasi, kemampuan berpikir kreatif, dan kebijaksanaan. Ini yang tidak bisa dimiliki robot,” pungkas Agusta.

Seminar ini merupakan salah satu rangkaian Pharmacious 2019. Selain seminar, sebelumnya telah digelar Debat Nasional Kefarmasian dan Kompetisi Poster Publik yang bertempat di Fakultas Farmasi UGM.

Dalam penyelenggaraannya, tahun ini Pharmacious 2019 antara lain didukung oleh kagama.co dan Majalah Kagama. (Kinanthi)

Baca juga: Raja Eswatini Targetkan Peningkatan Kerja Sama dengan Indonesia