Dialog Kebhinnekaan di Belanda : Memupuk Nilai Keindonesiaan di Luar Negeri

99

Usai sambutan Duta Besar, Dr. Nurmala Kartini Pandjaitan Sjahrir tampil menyampaikan presentasinya, diawali dengan pemutaran video tentang keberagaman budaya. Lewat video tersebut, doktor di bidang antropologi ini menekankan beberapa poin penting, seperti konstruksi sosial Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yakni, kemajemukan dan pentingnya berdialog untuk tetap menjaga kebersamaan.

Kartini Sjahrir mengatakan, bukti-bukti ilmiah menunjukkan bahwa secara lahiriah, orang Indonesia berasal dari keturunan berbagai macam bangsa. Jika dirunut sejak 30 hingga 40 tahun lalu, DNA manusia Indonesia adalah Austronesia Africa (Negroid). Lalu, sejak 6 hingga 7 ribu tahun lalu, bertambah dengan Austronesia Formosa (Mongoloid). Sementara itu, letak Indonesia yang berada di persimpangan pertemuan berbagai budaya membuat unsur-unsur budaya, seperti agama yang masuk ke Indonesia merupakan agama yang beradaptasi dan diadopsi oleh budaya yang telah ada sebelumnya.

“Oleh karena itu, yang disebut kebudayaan asli Indonesia adalah kebudayaan fusion,” kata Kartini Sjahrir, yang pernah menjabat sebagai duta besar di Argentina, merangkap Paraguay dan Uruguay. “Kalau kita ingin membuat eksklusivitas agama atau satu ras yang mengklaim paling hebat, tentu akan sia-sia,” ia menegaskan.

Menurut penasehat Menko Bidang Kemaritiman RI untuk Perubahan Iklim ini, ancaman baru yang muncul sekarang ini adalah, membangkitkan supremasi suatu agama dan ras. “Kelihatannya ingin mengatasnamakan demokrasi, dimana perbedaan dihargai. Tapi, sebenarnya malah membunuh demokrasi,” katanya. “Karena itu, kita semua memiliki kewajiban untuk mengembalikan ruh kemajemukan itu pada koridornya yang tepat.”

Dialog Kebhinnekaan menjadi media komunikasi antargenerasi untuk menanamkan serta memupuk rasa dan nilai-nilai keindonesiaan di luar negeri, yakni rasa dan nilai-nilai yang menjunjung tinggi persatuan serta menghormati keanekaragaman [Foto ISTIMEWA]
Dialog Kebhinnekaan menjadi media komunikasi antargenerasi untuk menanamkan serta memupuk rasa dan nilai-nilai keindonesiaan di luar negeri, yakni rasa dan nilai-nilai yang menjunjung tinggi persatuan serta menghormati keanekaragaman [Foto ISTIMEWA]
Usai presentasi Kartini Sjahrir, tampil pembicara kedua, Damianus Taufan, yang memaparkan makalah dengan penekanan pada identitas politik Indonesia. Menyusul selanjutnya adalah Dr. Atmadji Sumarkidjo, staf khusus Menko Bidang Kemaritiman RI, yang mengajak peserta dialog untuk tidak melupakan sejarah. Selain tiga pembicara di atas, acara Dialog Kebhinnekaan di Utrecht juga menghadirkan dua narasumber lain. Yakni, Ahmad Karim, kandidat PhD pada Universitas Amsterdam dan Aminudin TH Siregar, kandidat PhD pada Universitas Leiden.

Dipandu Kama Sukarno sebagai moderator, acara dialog ini menampung komentar-komentar serta pertanyaan-pertanyaan dari para peserta. Menurut Ari Sembiring, mahasiswa tingkat master di Universitas Tilburg, “Dialog kebhinnekaan ini merupakan upaya untuk menyalakan lilin, meskipun dampaknya belum benar-benar dirasakan,” katanya. Ari sangat antusias mengikuti acara sore itu, dan berharap dialog-dialog seperti ini lebih sering dilaksanakan.

Selain di Utrecht, Dialog Kebhinnekaan  di Belanda juga dilangsungkan di Den Haag pada Senin, 20 November 2017. Acara yang berlangsung di Aula Nusantara KBRI Den Haag ini dibuka oleh Wakil Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda, Ibnu Wahyutomo. Mengangkat tema Merajut Kebhinnekaan Dalam NKRI, acara Dialog Kebhinnekaan dihadiri oleh mahasiswa dan tokoh masyarakat Indonesia di Belanda, serta diaspora Indonesia.

Dialog Kebhinnekaan dengan masyarakat Indonesia di Belanda merupakan bagian dari rangkaian safari UKP-PIP di lima negara di Kawasan Eropa pada November 2017. Kelima negara itu adalah Jerman, Swedia, Denmark, Belanda, dan Perancis.

Sumber :

KBRI Den Haag