Dekan Filsafat UGM: Ilmu Sosial Profetik Memiliki Peluang Besar di Masa Depan

1805

Sedangkan menurut Dekan Fakultas FIlsafat UGM, Dr. Arqom Kuswanjono M.Hum, buku tersebut seperti mengajak pembacanya mengembara. Karena menurutnya banyak sekali pemikiran-pemikiran dari berbagai tokoh filsuf dan ilmu sosial yang dibahas.

“Saya kira kita sedang disuguhkan tentang kefilsafatan ilmu dengan sangat luas. Buku ini malah sangat filosofis,” terang Kuswanjono.

Ia juga menambahkan, dibahasnya berbagai tokoh dan pemikirannya dalam buku tersebut untuk menunjukkan bagaimana paradigma positivisme itu dipercaya dan berkembang. Kuswanjono kemudian mencontohkan bentuk riil dari paradigma positivisme yang ada di kehidupan sehari-hari.

Dalam kehidupan sehari-hari, kata Kuswanjono, seseorang tidak percaya terhadap kecerdasan orang lain jika tidak diperlihatkan hasil tes IQ. Selain itu, seseorang tidak yakin atas kecakapan orang lain dalam berbahasa Inggris tanpa diperlihatkan hasil tes TOEFL-nya.

“Jangan-jangan nantinya, keimanan juga akan dikuantitatifkan. Padahal tidak semua hal bisa dinilai secara kuantitatif,” ungkapnya.

Kuswanjono mencontohkan solusi permasalahan kerusuhan di Ambon. Penyelesaiannya tentu tidak bisa dipergunakan untuk menyelesaikan kerusuhan di lokasi lain. Mengingat fenomena sosial seperti itu memiliki variabel pengaruh yang tiap lokasinya berbeda.

Namun menurunya, persoalan terkait ilmu sosial profetik yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo seakan belum selesai. Ini karena pembahasan yang diberikan belum menyentuh pada tataran metode dari ilmu sosial profetik. Kendati demikian Kuswanjono tetap optimis ilmu sosial profetik bisa menjadi ilmu alternatif.

“Ilmu sosial profetik sebenarnya bukan hal baru, dan ilmu sosial profetik ini memiliki peluang besar di masa depan,” pungkasnya.(Rosa)