Cucu Pendiri Fakultas Filsafat UGM Raih IPK 4,00, Ingin Berkarier di Bidang HAM untuk Perempuan

4381

Baca juga: Alumni UGM Harus Punya Integritas

Selain itu, Karin juga banyak mengikuti kegiatan diskusi publik, seminar, atau conference.

Karin mengatakan, UGM kerap menyelenggarakan kegiatan-kegiatan tersebut.

Untuk itu, Karin tidak ingin melewatkan kesempatan-kesempatan tersebut.

Apalagi jika tema kegiatan terkait dengan research interest-nya.

Manajemen waktu dan pemahaman materi jadi tantangan Karin selama menempuh studi.

Diceritakan olehnya, di awal perkuliahan, dia mengambil 7 mata kuliah, yang mengharuskan dia kuliah setiap hari.

“Kami sekelas hanya sedikit orang, sementara kelas menekankan pada diskusi, tiap-tiap mahasiswa harus paham betul materi-materi yang akan diajarkan oleh dosen. Padahal semua materi mempergunakan bahasa Inggris akademis yang tidak mudah bagi Saya untuk memahaminya,” jelas Karin.

Baca juga: Direktur Manufaktur PT Kalbe Farma, Agusta Siswantoro Paparkan Implementasi Teknologi di Industri Farmasi

Dia bercerita, setiap mata kuliah mengharuskan mahasiswa untuk membuat mini-paper yang analitis dan kritis.

Pada awal perkuliahan, ini sangat menguras tenaga.

Setiap harinya berkutat pada mata kuliah berbeda.

Namun, masing-masing menuntut tingkat konsentrasi yang sama tingginya.

Karin benar-benar harus beradaptasi dengan ritme belajar dan kuliah yang lumayan berat.

“Tetapi, perlahan saya jadi semakin bisa membagi waktu dan konsentrasi Saya. Segala tempaan itu terbayarkan, ketika akhirnya Saya bisa lebih memahami buku atau jurnal lebih cepat. Ketika Saya menjadi lebih sensitif terhadap isu hukum, perlahan hal tersebut membangun skil analisis Saya,” ujarnya.

Masa-masa Karin mengerjakan tesisnya yang berjudul “The Legal Analysis of The Indonesian Obligation To Report As Member State to CEDAW Convention” juga penuh tantangan, karena riset tersebut bersifat empiris.

Baca juga: Apoteker Perlu Kreatif Manfaatkan Teknologi Demi Tercapainya Pembangunan Kesehatan