Cerita di Balik Perubahan Nama Saragi Menjadi Sragen

1253

Baca juga: G2R Tetrapreneur dan GTRA Bantu Masyarakat Wujudkan Kesejahteraan Lewat Pemanfaatan Aset dan Akses Tanah

“Tentu saja keluarga besar Kadipaten Pengging menjadi penyokong utama,” jelas alumnus Fakultas Filsafat dan Fakultas Ilmu Budaya UGM ini.

Selama beberapa tahun setelah Joko Tingkir menjadi raja, Ki Ageng Butuh menyimpan sebuah pesan dari gurunya.

Pesan yang kelak ditujukan kepada Joko Tingkir itu isinya tentang perlunya mengatur sebuah wilayah yang berada di selatan Gunung Kendheng.

Tepatnya ada di sepanjang aliran Bengawan Gedhe yang kala itu disebut dengan Saragi.

Ki Ageng Butuh menerjemahkan pesan dari Syekh Siti Jenar tersebut dengan usulan pemekaran wilayah.

Baca juga: Banyak Diminati, Begini Tantangan Menjalankan Bisnis Jasa Maternity dan New Born Baby Photography

“Saragi artinya satu tempat untuk membuat ragi atau pengubah bentuk menuju kebaikan,” ucap Purwadi.

Setelah mendengar isi pesan dari Ki Ageng Butuh, Joko Tingkir segera membentuk panitia pemekaran wilayah.

Dalam rapat panitia pemekaran wilayah, 27 Mei 1956, Saragi ditetapkan sebagai daerah setingkat kabupaten.

Salah satu keputusan penting yang diperoleh dari rapat adalah perubahan nama dari Saragi menjadi Sragen.

“Sragen adalah cara, wahana, sarana untuk membuat kebajikan, kebaikan, keutamaan jagad raya,” tutur Purwadi.

Baca juga: Upaya Andi Afdal Membangun Ekosistem Digital BPJS Kesehatan di Era Adaptasi Kebiasaan Baru