Candu Masyarakat pada Uang Elektronik, Good Life atau Happines?

1064

Baca juga: Berpikir Secara Digital Kunci Kemajuan Pariwisata

”Budaya kedangkalan berpikir ini bisa jadi implikasi yang mengerikan. Karena logika digital itu tidak mengakomodir kedalaman kita untuk menyerap informasi. Dan itu mempengaruhi perilaku kita, tidak hanya ketika berkomunikasi, tetapi juga dalam menikmati hidup,” ujar Sidiq saat ditemui KAGAMA.

Termasuk di dalamnya pengalaman kita membaca, mengonsumsi konten-konten, merepresentasikan identitas, dan sebagainya, semua dibawa ke dalam logika instan.

Pengorganisasian Diri Menentukan Perilaku

Berbagai implikasi ini merupakan konsekuensi yang tak terhindarkan.

Namun, hal yang menentukan  bukan dari kemunculan internet, gadget, atau platform, tetapi pada pengorganisasian kita selama mengonsumsi informasi dan melakukan mobilitas.

”Kita dituntut untuk diam di tengah kecepatan. Ya kita diam di sini saja, nggak usah ke mana-mana. Tetapi, kita terbawa arus kecepatan, sehingga kita sendiri mau nggak mau menuntut sesuatu itu harus datang ke kita secepatnya. Ya ojek, makanan, interaksi sosial, kalau bisa orang datang ke kita di media sosial, misalnya dalam bentuk komentar, emoticon. Di situ kita menjadi merasa berada dan berinteraksi,” jelas Sidiq.

Implikasi Sosial sebagai Titik Perbedaan Uang Fisik dan Digital

Kehadiran uang elektronik, kata Sidiq, merupakan bentuk gerakan cashless society.

Artinya gerakan yang membawa kita pada sense immateriality.

Baca juga: Pelaku Usaha dan Konsumen Jangan Terlena dengan Tren Bisnis Digital

Hal-hal yang sifatnya material, jika bisa dilenyapkan dan digantikan dengan hal-hal yang sifatnya immaterial.

Meskipun secara ekstrinsik berubah, tetapi nilai intrinsik atau value-nya tetap ada.

E-money misalnya, value-nya tetap karena dia tetap mengukur nilai sesuatu. Seberapa kaya kita, berapa sih harganya. Kemudian trust-nya juga tetap ada. Kepercayaan manusia terhadap uang elektronik masih sama seperti kepercayaan terhadap uang fisik,” jelas dosen yang menyelesaikan studi S2-nya di Stockholm University, Swedia itu.

Sebab, uang elektronik dibentuk atas kepercayaan publik bahwa dia memiliki nilai.

Sejatinya yang membedakan uang digital dan uang fisik adalah implikasi sosialnya.

Dulu proses transaksi dengan uang tidak otomatis terekam.

Tetapi, hal itu sekarang menjadi data berupa mata uang baru, artinya nilai uang memproduksi nilai-nilai baru.

Ini dimiliki oleh uang elektronik.

Baca juga: Dubes Djauhari: Indonesia Berpotensi Jadi Kekuatan Ekonomi Digital Terbesar Asia Tenggara