Buruknya Tata Kelola Perkebunan Sebabkan Masyarakat Benci Kelapa Sawit

627

Baca juga: Perkembangan Bisnis dan Tren Minum Kopi di Indonesia

“Mengapa demikian? Ya karena nilai ekonominya memang besar. Pada tahun 80-an pemerintah fokus mengembangkan industri kelapa sawit, banyak insentif diberikan, kemudahan pembukaan lahan, pemitraan dengan perusahaan, dan lainnya,” ungkap Hero.

Dampak dari pengembangan kelapa sawit, kata Hero, efeknya sangat terasa.

Seperti kegiatan transmigrasi yang berkembang di daerah tertentu dan lapangan kerja yang semakin luas.

Pertumbuhan industri kelapa sawit memang signifikan, tahun 2016 lalu ada sekitar 4,4 juta rumah tangga yang hidupnya tergantung dari kelapa sawit.

“Orang yang menanam sawit di lahan hutan, biasanya karena ketidaktahuan. Lalu bagaimana jika sudah terlanjur? Untuk itu kami menawarkan solusi konsep jangka benah, yaitu periode pengaturan tegakan hutan untuk mengembalikan stok tegakan hutan menjadi seperti stok tegakan hutan normal,” papar Hero.

Baca juga: Berpikir Secara Digital Kunci Kemajuan Pariwisata

Bicara soal pengelolaan dana pungutan ekspor minyak kelapa sawit, Fajril Amirul, M.Sc., Kepala Divisi Replanting Reforestration dan Promosi Perkebunan Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) mengalokasikannya untuk beberapa program.

Beberapa di antaranya untuk peremajaan kelapa sawit dan biodisel.

Dirinya pun sepakat kelapa sawit merupakan komoditas yang paling mungkin dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Apalagi sejak dulu kelapa sawit punya peran besar mengurangi kemiskinan.

“Angka ekspornya besar, tapi kontribusi pajaknya kecil hanya 2 persen dari total penerimaan pajak. Ya ini masih jadi PR besar bagi pemerintah dan pelaku usahanya,” ujar Fajril.

Baca juga: Kemenhub Kebut Pembangunan Konektivitas dan Aksesbilitas Transportasi Joglosemar