Berpikir Holistik Soal Link and Match Antara Prodi dan Industri

511

Regulasi Baru untuk Calon Tenaga Kerja

Widyanta menilai, perguruan tinggi yang merupakan bagian dari negara, selalu terlambat mengantisipasi berbagai persoalan.

Padahal pergeseran teknologi membutuhkan respon cepat.

“Satu hal yang selalu terlambat adalah regulasi mengenai hubungan kerja sumber daya dengan industri kreatif.”

“Selain mempersiapkan kualitas SDM dan industrinya, regulasi tersebut juga perlu disiapkan dengan cepat,” kata Widyanta menyampaikan hasil observasinya.

Ia menambahkan, tiga unsur regulasi yang harus disoroti adalah honor, keselamatan kerja, jaminan kesehatan, dan dana pensiun.

Industri kreatif adalah industri knowledge dan informasi, sehingga dibutuhkan tenaga kerja dengan keahlian khusus.

Dikatakan Widyanta, hal ini menjadi sesuatu yang baru, maka dari itu regulasi baru tentang pekerja industri kreatif juga harus dibuat.

Bagi Widyanta, riset soal regulasi ini masih terbilang minim, bahkan ada yang tidak dilakukan dengan tuntas.

Pastinya kekosongan riset ini bisa menimbulkan persoalan-persoalan baru.

Sesuatu yang besar tak akan bisa dicapai tanpa ada data yang kuat.

Penting membuat regulasi yang membingkai upaya UGM, sehingga akan muncul koneksi dengan berbagai kebutuhan di luar UGM.

Regulasi, kata Widyanta, jadi payung bagi industri dan human resources.

Konektivitas perguruan tinggi dengan berbagai pihak harus dibaca dengan kerangka kelembagaan.

Masa Depan Human Resources

“Pendidikan tinggi sering kalah dengan lembaga pendidikan yang lebih luwes.”

“Industri memilih yang luwes, yang penting trusted, percaya bahwa lulusannya berkualitas,” ujar Widyanta.

Saat ini, kapasitas belajar tak bisa terpolarisasi di perguruan tinggi saja.

Bagi Widyanta, Prodi Sarjana Terapan harus bisa memberikan kepastian soal konektivitas dan bridging terhadap konektivitas tersebut, sehingga output-nya bisa terserap baik di dunia industri.

UGM sebaiknya juga ikut mengantisipasi penekanan jumlah human resources agar tidak berlebihan.

Hal ini bisa dilakukan persiapan berlapis dan advokasi ke berbagai pihak terkait, merancang jejaring industrinya, pengadaan sertifikasi, supaya lulusan bisa siap pakai.

Demikian juga dengan persebaran tenaga kerja di Indonesia.

UGM tentunya mempertimbangkan soal distribusi tenaga kerja ke seluruh daerah.

Widyanta berpendapat, kebijakan setiap daerah akan berbeda-beda, secara langsung ini berpengaruh pada tenaga kerja yang dibutuhkan.

Daerah dengan kondisi tertentu, ujarnya, membutuhkan tenaga kerja dengan keahlian khusus.

Aspek geografik menjadi kuncinya.

Sehebat apapun teknologinya, kita perlu memikirkan karakter sociokultural ekonomi politik tingkatan lokal.

Dari kerangka berpikir ini, jaminan kesejahteraan menjadi tujuan utama.

Apabila semua pihak mampu berpikir holistik pasti segala risiko bisa diantisipasi.

Link and match prodi dengan industri baik dilakukan, apabila sudah didukung dengan riset yang kuat dan regulasi ketenagakerjaan hari ini.

Jika nantinya lulusan tidak terserap dengan baik setelah adanya spesialisasi prodi ini, tentu akan jadi beban moral bagi UGM.

“Untuk mengantisipasinya perlu ada compatibilitas antara supply and demand.”

“Ini perlu dipersiapkan, ditentukan dalam peta besar,” demikian Widyanta menyimpulkan. (Kinanthi)