Bambang Laresolo: Teh Indonesia Harus Bisa Mengekor Kesuksesan Kopi

1245

Baca juga: Hal Berat yang Harus Dilalui untuk Menjadi Fotografer Profesional

“Kita tahunya hanya memproduksi banyak, harga murah, dan bisa menjangkau pasar yang lebih luas. Konsumen dalam pasar ini sudah cukup senang dengan harga teh yang murah,” ujar pemilik Kedai Teh Laresolo itu.

Dengan demikian, trader hanya fokus pada produksi teh dengan volume yang banyak. Tidak ada usaha untuk menambahkan value ke dalam teh tersebut.

Pasar ketiga adalah tea connossieur. Luas pasarnya memang kecil, tetapi profit marginnya besar. Karena teh-teh yang dijual di pasar ini harganya sangat mahal.

“Teh-teh tersebut masih impor, seperti dari Tiongkok dan Jepang. Karena teh selera mereka belum ada di Indonesia,” tutur pria kelahiran Surakarta, Jawa Tengah ini.

Sementara itu, kata Bambang, teh wangi melati merupakan produk teh paling populer di Indonesia. Konsumen di pasar urban banyak mengonsumsi produk teh ini.

Baca juga: Pakar Hukum Alumnus UGM Jelaskan Kenapa Tren Calon Tunggal Meningkat pada Pilkada 2020

Industri teh wangi melati kian berkembang, mulai dari membuat teh tubruk hingga teh RTD.

Bersamaan dengan itu, berkembang pula teh-teh impor modern, seperti Thai Tea, Bubble Tea, Milk Tea, Matcha, dan sebagainya di pasar lifestyle.

Namun, teh-teh lokal juga turut berkembang secara perlahan sampai akhirnya bisa mendirikan tea house. Sudah mulai ada juga teh-teh yang dikembangkan untuk kafe-kafe kelas menengah.

Selanjutnya, berkembang pula tea blend. Semacam jenis teh yang tampilannya lebih estetik. Saat disajikan bisa tampak menarik dan layak untuk didokumentasikan.

“Sedangkan di pasar tea connossieur, produk teh yang beradar misalnya white tea dan roll tea. Harganya sangat mahal, hampir setara dengan harga kopi luwak.”

Baca juga: KAGAMA Sukoharjo Kunjungi Jatisobo dalam Rangka Program Pengembangan Desa Inklusif