Asal Usul Kebaya ‘Semriwing’

1124

 Pertama, kebaya yang digunakan oleh petani yang terbuat dari katun polos, santun, mori, atau jenis kain lurik tanpa penambahan aksen. Kebaya jenis ini ukurannya longgar dan dapat menunjang kegiatan perempuan dalam kegiatan bercocok-tanam.

Para perempuan petani biasanya tidak menggunakan aksesoris, melainkan hanya dipadukan dengan kain panjang (Jawa: tapih) yang pemakaiannya dililitkan berulang-ulang.

Kedua, kebaya untuk kelas santri yang merujuk pada masyarakat agamis dan berada di sektor perdagangan. Kebaya yang digunakan harus memberi nilai islami dan kesopanan dengan tidak menampilkan siluet tubuh, serta ukurannya longgar dan dipadukan dengan kain panjang.

Dilihat dari segi kualitas, bahan kebaya yang digunakan kelas santri lebih baik daripada petani karena menggunakan sutera, organdi, brokat, atau nilon. Penggunaan kebaya oleh kelas santri ini memiliki ciri utama dengan perempuannya yang menggunakan penutup kepala berupa bandana, selendang, atau kerudung.

Ketiga, kebaya yang digunakan kelas priayi memiliki nilai simbolik yang adiluhung dan nilai kepantasan. Kebaya yang digunakan kalangan ini juga dipengaruhi oleh kolonial Belanda yang terlihat dari adanya hiasan bordir, sehingga seringkali disebut sebagai kebaya peranakan. 

Selain itu, perempuan kelas priayi juga menggunakan korset seperti perempuan Eropa agar tubuh terlihat langsing. Dalam perkembangannya, kebaya yang ukuran awalnya longgar terpengaruh dengan gaya kolonial, sehingga memiliki model yang memperlihatkan bentuk tubuh.

Triyanto menjelaskan bahwa perubahan model kebaya pada pasca Reformasi 1998 telah mempengaruhi banyak perempuan di Indonesia untuk kembali memakai kebaya yang biasanya dianggap kuno.

“Kebaya semriwing juga banyak digunakan banyak kalangan, serta eksistensinya dapat diterima di masyarakat desa hingga perkotaan,” tulisnya dalam tesisnya di Magister Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM, 2008.(Tita)