Arie Sujito Tak Pernah Berhenti Memperjuangkan Tradisi Kritis

3062

Baca juga: Jadi Lulusan Terbaik FIB, Riya: Keluarga, Dosen dan Para Sahabat Selalu Memberikan Semangat

Reformasi telah membuka kesempatan untuk menghidupkan kampus kembali, setelah sebelumnya dikeringkan oleh orde baru.

Politik otoriter kala itu membuat dunia akademik menjadi asing.

Arie resmi menjadi PNS dosen pada 1999.

Saat itu reformasi baru saja dimulai dan masih menata organ kelembagaannya.

Dia merasa tidak kesulitan dengan situasi ini, malah justru menikmatinya sebagaimana dia dibesarkan oleh aktivitas tradisi komunitas kritis.

Kombinasikan Aktivisme dan Akademik di Kampus

Pasca menjadi dosen, Arie masih berusaha mengkombinasikan akademik dan aktivisme di kampus.

Namun, upaya tersebut tak bisa dengan mudah diwujudkan.

Baca juga: Lulusan Terbaik FK-KMK, Dennis: Kopi Teman Terbaik Saya

Arie menjelaskan, kampus sebetulnya punya kesempatan untuk mengembangkan akademik, tetapi ada limitasi yang harus dihadapi.

“Tidak semua idealisme bisa dikembangkan di situ. Saya menjelajahi kampus dengan tuntutan peran Saya sebagai dosen, salah satunya lewat diskusi dengan mahasiswa. Limitasinya memang reformasi awal di kampus belum menjadi bagian penting untuk menjawab kebutuhan idealisme,” jelasnya.

Kecintaannya pada aktivisme tidak hanya berhenti di masa mahasiswanya.

Pasca meraih gelar sarjana, Arie kemudian mengkombinasikan aktivisme dan akademik pada 1997, dengan bergabung ke Institute For Research and Empowerment (IRE), sebuah NGO yang bekerja pada isu-isu demokrasi.

Amanah untuk menjadi Direktur Eksekutif IRE diterima Arie pada 2007-2011.

Ada berbagai program IRE yang terus dikembangkan, yakni memperkuat kemitraan strategis warga aktif dan pemerintahan desa untuk mengembangkan inovasi dalam penganggaran desa partisipatif.

IRE juga konsen pada studi tentang inisiatif desa dalam mengembangkan transparansi dan akuntabilitas melalui praktik-praktik demokrasi lokal, penguatan jaringan gerakan sosial kewargaan, dan sekolah desa.

Baca juga: Bambang Hudayana Kembangkan Departemen Antropologi Sejak Mahasiswa