Antropolog UGM: Wabah Corona adalah Jendela Pembuka Masalah Sistem Sosial di Indonesia

5981

Baca juga: Prof. Hamzah Berahim Wafat, Pesan Energi Ramah Lingkungan Jadi Peninggalannya

Kalimat ancaman itu seperti ‘ora usah ngeyel, brobos jotos’ (tak usah mengeyel, lewat kena jotos).

Respons masyarakat yang demikian memunculkan sebuah kegundahan dalam pikiran Pujo.

“Saya menduga wabah alias pageblug ini merupakan jendela pembuka bahwa ada ‘masalah’ dalam sistem sosial masyarakat kita,” ucap Pujo.

“Kemungkinan, resiprositas seimbang yang kita percaya berjalan baik di dalam tubuh masyarakat, tidak berhasil mencapai seluruh warga,” sambung lulusan S3 University of Amsterdam tersebut.

Pujo melihat, ada sebagian kelompok yang tercecer dalam jaring pengaman sosial bernama guyub rukun.

Mereka pun, kata dia, menjadikan wabah sebagai arena mengungkapkan masalah yang menimpa selama ini.

Kelompok tercecer yang dimaksud Pujo adalah mereka yang menggunakan kekerasan sebagai pendekatan dalam penyelesaian masalah.

Baca juga: Kunci agar Jamu Bisa Merebut Pasar Dunia Menurut Alumnus Farmasi UGM

Selain itu, kata Pujo, mereka yang punya kemampuan sarana terbatas, penuh amarah, dan melihat orang lain sebagai ancaman.

Pendekatan yang dilakukan kelompok tercecer dipandang Pujo tentu saja tidak seperti aktor-aktor dengan sistem sosial mapan.

Hal itu dapat dilihat dari pesan yang disampaikan dalam baliho dari si kelas sosial mapan.

Mereka terlihat punya dana, berkepala dingin, santun, rasional, dan mencerminkan orang terdidik.

Perbedaan pendekatan inilah yang dipandang Pujo sebagai tanda bahwa ternyata di dalam masyarakat dengan budaya solidaritas masih ada kelompok terpinggirkan.

“Wabah virus saat ini diambil sebagai kesempatan oleh aktor-aktor dengan kemampuan terbatas untuk tampil bersuara di publik,” ucap Pujo.

“Apakah mereka selama ini sudah terbantu oleh sistem guyub rukun di pedesaan Jawa?” pungkasnya. (Ts/-Th)

Baca juga: Tingkatkan Kebersihan Selama Pandemi Covid-19, Kementerian PUPR Bedah Rumah Tak Layak Huni