Akomodasi Potensi Lokal, Model Pemberdayaan Kelompok Batik Terpinggirkan

389

Ada pihak tertentu yang mengambil keuntungan lebih, pembagian kerja yang tidak merata, pelaporan dana tidak jelas, dan ketidakcocokan secara emosional antar anggota. Ini yang kemudian menjadi faktor pendorong pembatik untuk keluar dan menjadi pembatik yang mandiri.

Ketidakpuasan yang dialami oleh sebagian pembatik, mendorong mereka untuk membentuk Kelompok Batik Sido Mulyo. Pemerintah bersama LSM Yayasan Kanopi Indonesia ikut mendampingi mereka.

Dipaparkan oleh Fathul, kelompok pembatik tersebut kini sudah terbentuk dengan baik dan menjadi berdaya. Sebab, LSM berusaha mengakomodasi potensi lokal.

Berbagai potensi lokal tersebut diakomodir dengan cara mencari anggota kelompok yang mempunyai nasib sama, mempunyai ikatan kekerabatan, dan berusaha mempertimbangkan latar belakang pembatik.

Meskipun dampak keberlanjutan belum terasa, tetapi upaya pemberdayaan ini sudah mulai membuahkan hasil. Kelompok dibangun dengan menguatkan relasi mereka dengan buruh juragan.

Begitu juga dengan keterlibatan buruh lepas dalam kelompok, membuat semua anggota mempunyai peran yang lebih kompleks.

“Peran yang harus mereka lakukan seperti membangun image membatik, membangun pencitraan di dunia maya, dan memberdayakan masyarakat sekitar,” tulis alumnus S2 Antropologi Budaya UGM ini.

Namun, sebelumnya mereka harus menentukan prioritas, yaitu mendahulukan kelompok dan urusan domestik.

Partisipasi pembatik dalam binaan kelompok binaan LSM, menjadi jalan baru bagi mereka untuk membentuk status sosial. Cara utama yang ditempuh dengan mengumpulkan kelompok-kelompok yang terpinggirkan untuk bersatu.

Kini Kelompok Batik Sido Mulyo mulai bisa memutus rantai ketergantungan ekonomi buruh.

“Bisa dibilang, mereka sekarang berusaha mendirikan dinasti sendiri dalam ikatan keluarga sebagai akibat adanya ketidakpuasan akan akses dan aset yang diterima, melalui dukungan dari buruh batik lepas dan kegiatan pemberdayaan,” ujar Fathul.