Akademisi Agus di Panggung Ketoprak

1179

EMPAT dosen/guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM) akhirnya menunaikan rencana pementasan bersama seniman tradisi Yogyakarta yang tergabung dalam Ketoprak Agus-Agus yang dihelat komunitas Agus Bumi Indonesia (ABI) Yogyakarta. Keempatnya adalah Prof. Dr. Ali Agus, DAA, DEA, Prof. Dr. Ir. Agus Taufik Mulyono, M. T., ATU, IPU, Dr. Agus Kuncaka, DEA, dan Dr. Ing. Ir. Agus Maryono. Sedangkan guru besar Fakultas Kehutanan UGM Prof. Dr. Cahyono Agus Dwi Koranto berperan sebagai sutradara.

Kagama.co berkesempatan menemui dua akademisi Agus dari empat akademisi Kampus Biru yang manggung dalam lakon Lintang Kemukus karya Bondan Nusantara, Sabtu (12/8/2017) malam di Gedung Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM Bulaksumur, Sleman, Yogyakarta. Kekompakan Agus-Agus baik dari akademisi, seniman, maupun birokrat menurut Ali Agus menunjukkan semangat kebersamaan dan kekeluargaan.  Apa pun profesi, pekerjaan, background, asal, masing-masing individu Agus akhirnya lebur dan menyatu dalam gathering bersama demi  nguriuri kebudayaan Jawa, yaitu ketoprak untuk kebersamaan. sekaligus memperingati kemerdekaan RI ke-72.

Prof. Dr. Ir. Ali Agus, DAA, DEA bersama istri,  Ir. Chusnul Hanim, M.Si. usai manggung (Foto R Toto Sugiharto/KAGAMA)
Prof. Dr. Ir. Ali Agus, DAA, DEA bersama istri, Ir. Chusnul Hanim, M.Si. usai manggung (Foto R Toto Sugiharto/KAGAMA)

“Dan, rata-rata Agus-Agus ini ulang tahunnya di bulan Agustus sehingga punya makna seni dan budaya sekaligus,” ucap Dekan Fakultas Peternakan UGM kepada kagama.co usai pentas.

Akademisi bernama Agus di UGM, menurut Ali Agus, terbilang cukup banyak. Karenanya, tidak menutup  kemungkinan bila mereka diajak bergabung dalam gerakan seni budaya serupa. Juga, seperti  Agus Martowardoyo atau yang bernama Agus lainnya untuk terlibat bersama dalam gerakan seni budaya.

“Seni budaya itu kan membawa kesenangan, bersahabat dengan siapa saja. Kita tak membeda-bedakan profesi masing-masing dan latar belakang mereka. Ini contoh kebhinnekaan, NKRI, dan Pancasila. Ini contoh kongkret bagaimana dari keberagaman menjadi satu,” ujarnya.

Prof. Dr. Ir. Ali Agus, DAA, DEA menerima cenderamata dari panitia penyelenggara komunitas Agus Bumi Indonesia Yogyakarta (Foto R Toto Sugiharto/KAGAMA)
Prof. Dr. Ir. Ali Agus, DAA, DEA menerima cenderamata dari panitia penyelenggara komunitas Agus Bumi Indonesia Yogyakarta (Foto R Toto Sugiharto/KAGAMA)

Panggung ketoprak bagi Ali Agus bukan sesuatu yang asing. Ia pernah manggung ketoprak di Gedung PKKH UGM pada 2015 bertepatan  Dies UGM ke-66, bersama Rektor UGM saat itu dijabat Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M. Sc., Ph. D., Wakil Rektor UGM, dan guru besar serta dosen UGM. Selain itu, ia juga pernah main ketoprak di Taman Budaya Yogyakarta beberapa kali bersama Prof. Dr. Ir. Cahyono Agus DK.

Ratusan Akademisi Agus di Kampus Biru

Kesediaan Prof. Dr. Ir. Agus Taufik Mulyono, M. T., ATU, IPU untuk terlibat dalam pergelaran Ketoprak Agus Agus pun dilatarbelakangi motivasi ikut berpartisipasi aktif dalam  melestarikan seni budaya tradisi. Sebab, bila bukan mereka dari akademisi Kampus Biru, siapa lagi yang akan melestarikan budaya, begitu katanya.

(kiri-kanan) Prof. Dr. Ir. Agus Taufik Mulyono, MT, ATU, IPU bersama istri, Ir. RR Mursilah Barida, dan Agus Bastian, S. E., M. M., Bupati Purworejo, Jawa Tengah. Mursilah merupakan adik kandung Agus Bastian. (Foto R Toto Sugiharto/KAGAMA)
(kiri-kanan) Prof. Dr. Ir. Agus Taufik Mulyono, MT, ATU, IPU bersama istri, Ir. RR Mursilah Barida, dan Agus Bastian, S. E., M. M., Bupati Purworejo, Jawa Tengah. Mursilah merupakan adik kandung Agus Bastian. (Foto R Toto Sugiharto/KAGAMA)

Menurut perkiraan Agus Taufik – yang merupakan adik ipar Agus Bastian, S. E., M. M. (saat ini menjabat Bupati Purworejo, Jawa Tengah -red), akademisi bernama Agus di Fakultas Teknik UGM seluruhnya hampir mencapai 40 orang. Apabila  setiap fakultas, misal terdapat 20 akademisi Agus, maka dari jumlah total 20 fakultas, bisa mencapai jumlah 500-an akademisi. Jumlah tersebut belum termasuk mahasiswa.

Akademisi  spesialis di bidang manajemen jalan itu menambahkan, setiap dosen atau guru besar pasti memiliki kesibukan masing-masing, tapi sesibuk apa pun seperti dirinya, Agus Taufik tetap menyempatkan waktu untuk berpartisipasi.

Para bintang panggung Ketoprak Agus Agus pendukung lakon "Lintang Kemukus" berfoto bersama usai pergelaran (Foto R Toto Sugiharto/KAGAMA)
Para bintang panggung Ketoprak Agus Agus pendukung lakon “Lintang Kemukus” berfoto bersama usai pergelaran (Foto R Toto Sugiharto/KAGAMA)

Selain itu, setelah mengetahui  keadaan gedung PKKH  UGM, Agus yang dikenal dengan inisial ATM merasa cukup prihatin. Gedung yang dahulu dikenal dengan nama Purna Budaya saat ini kondisinya kurang terawat dengan baik. Padahal, gedung tersebut representasi budaya.

“Budaya Indonesia, khususnya ketoprak mengeskpresikan keakraban dan kesatuan hati. Dalam hal ini dikhususkan Agus. Mungkin ke depan, timing-nya beda lagi. Saya sangat berharap UGM punya perhatian besar terhadap gedung budaya ini agar dilestarikan dan ketoprak  harus dihidupkan. Juga, seharusnya bisa diikuti seluruh mahasiswa dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, bisa melihat budaya ketoprak dari UGM,” ucap Agus Taufik yang didampingi istrinya, Ir. R. R. Mursilah Barida.

Lebih lanjut,  Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia ini mengajak masyarakat untuk kritis dalam memerbaiki budaya bertransportasi karena transportasi juga bagian dari peradaban.  Maka, masyarakat transportasi harus sadar untuk selalu patuh pada aturan bertransportasi. Salah satu sosialisasinya melalui seni budaya.

Panitia dan segenap kru bernama Agus pun berselfie ria bersama para bintang panggung yang juga bernama Agus (Foto R Toto Sugiharto/KAGAMA)
Panitia dan segenap kru bernama Agus pun berselfie ria bersama para bintang panggung yang juga bernama Agus (Foto R Toto Sugiharto/KAGAMA)

“Dengan seni pertunjukan seperti ketoprak kita bisa menyampaikan dengan kesan sangat menarik, lucu tapi punya makna. Kalau kita terlalu formal kadang-kadang  belum mengena pada rasa hati masyarakat,” ujar akademikus asli Pasuruan, Jawa Timur.yang sudah menyukai seni ketoprak sejak kanak-kanak.

“Untuk main ketoprak  baru pertama kali. Tapi,  waktu saya menikahkan kedua anak saya,  juga menampilkan 360 penari kolosal di dalam gedung resepsi. Itu tak lain karena saya ingin melestarikan seni budaya,” tandas Agus yang masih berkerabat sebagai adik sepupu Rektor UGM Prof. Ir. Panut Mulyono, M. Eng., D. Eng. [rts]