Dr. Pramaditya Wicaksono dan Tim Sukses Kembangkan Teknologi untuk Petakan Padang Lamun

569
Estimasi luas padang lamun di Indonesia yang sudah divalidasi oleh Pusat Riset Oseanografi-BRIN (PRO-BRIN) dan dipublikasikan dalam buku Status Padang Lamun Indonesia 2018 baru seluas 293.464 hektare atau sekitar 16 sampai 35 persen dari potensi luasan padang lamun di Indonesia. Foto: Instagram danworld_indonesia
Estimasi luas padang lamun di Indonesia yang sudah divalidasi oleh Pusat Riset Oseanografi-BRIN (PRO-BRIN) dan dipublikasikan dalam buku Status Padang Lamun Indonesia 2018 baru seluas 293.464 hektare atau sekitar 16 sampai 35 persen dari potensi luasan padang lamun di Indonesia. Foto: Instagram danworld_indonesia

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Dosen Departemen Sains Informasi Geografi, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Pramaditya Wicaksono, M.Sc.,dan tim mengembangkan metode pengolahan data pengindraan jauh untuk memetakan padang lamun atau seagrass secara akurat, efektif, dan efisien.

Pengembangan teknologi tersebut berawal dari keprihatinan Pramaditya akan belum optimalnya pengelolaan padang lamun Indonesia.

Padang lamun merupakan salah satu ekosistem karbon biru (blue carbon) di wilayah pesisir yang didominasi vegetasi lamun (angiosperm).

Indonesia merupakan pusat keanekaragaman hayati padang lamun dunia dan memiliki 5 persen hingga 10 persen luas padang lamun dunia.

Baca juga: Kagama Sumatera Selatan Berbagi Kasih untuk Korban Kebakaran di Desa Sungsang I

Tak seperti mangrove atau terumbu karang, padang lamun merupakan ekosistem yang jarang disinggung.

Namun, padang lamun sangat berperan menjaga kelangsungan hidup biota laut, membuat air laut jernih, dan menjadi stabilisator sedimen perairan.

Tumbuhan air berbunga tersebut juga melindungi bumi karena mampu mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan dan mitigasi perubahan iklim.

Meskipun luasnya kurang dari 1 persen dari lautan bumi, namun padang lamun menyimpan sekitar 18 persen total karbon di laut.

Baca juga: Kagama Pemalang Kolaborasi dengan Bappeda Entaskan Kemiskinan di Kabupaten Pemalang

Kemampuan padang lamun dalam menyerap karbon dan menguburnya dalam sedimen mencapai lebih dari 30 kali lipat lebih tinggi daripada hutan hujan tropis, yang selama ini dikenal sebagai ekosistem penyerap karbon yang tinggi.

Fakta tersebut menempatkan padang lamun menjadi ekosistem carbon sink yang paling efektif dan efisien di bumi.

Mengkaji padang lamun sejak 2010 silam, saat ini ia mengembangkan tools pengolahan citra digital pengindraan jauh untuk kebutuhan pemetaan stok karbon atas permukaan dan sekuestrasi karbon ekosistem padang lamun secara otomatis.

Banyak pihak terlibat mulai dari dosen, peneliti, hingga mahasiswa.

Baca juga: Kisruh Alih Kelola Hutan Perhutani di Jawa

Institusi dalam negeri di antaranya Pusat Penelitian Oseanografi LIPI (sekarang menjadi Pusat Riset Oseanografi BRIN), Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Informasi Geospasial, Universitas Hasanuddin, dan Lapan (sekarang menjadi Pusat Riset Antariksa BRIN).

Lembaga luar negeri di antaranya The University of Queensland, Wageningen University and Research, dan TH Koeln (Cologne University of Applied Sciences).

Pramaditya menyebutkan nilai ekonomi jasa ekosistem padang lamun jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ekosistem karbon biru lain seperti hutan mangrove dan terumbu karang.

Valuasi ekosistem padang lamun mencapai US$19.004 per hektare setahun.

Baca juga: Pemerintah Diminta Tegas Tegakan Hukum agar Tidak Jatuh pada Jebakan Pangan

Sementara hutan mangrove US$9.990 per hektare setahun dan terumbu karang US$6.075 per hektare setahun.

“Namun, jasa ekosistem padang lamun tersebut belum banyak mendapat eksposur dan masih kalah populer jika dibandingkan dengan ekosistem karbon biru lain seperti terumbu karang dan hutan mangrove,” ungkap Ketua Program Studi Sarjana Kartografi dan Penginderaan Jauh UGM ini.