Gertam-Nusaku Babak Baru Sejarah Reboisasi dan Penghijauan Nasional

556
Dengan biaya penanaman pohon yang cukup sekitar Rp62,5 juta per hektare sampai Rp125 juta per hektare tidak mustahil hutan hijau akan terwujud. Foto: VOI
Dengan biaya penanaman pohon yang cukup sekitar Rp62,5 juta per hektare sampai Rp125 juta per hektare tidak mustahil hutan hijau akan terwujud. Foto: VOI

KAGAMA.CO, JAKARTA – Dimulainya gerakan penanaman pohon jadi secara swadaya masyarakat di Desak Wunung, Gunung Kidul Yogyakarta tanggal 22 Februari 2022 akan menjadi babak baru dalam sejarah reboisasi dan penghijauan nasional.

Gerakan Tanam Pohon Jadi Nusantaraku (Gertam-Nusaku) yang dipimpin oleh Irjenpol (P) Drs. Bekto Suprapto merupakan terobosan langkah Yayasan Peduli Hutan Indonesia (YPHI) bekerja sama dengan Koperasi Anugerah Hasil Bumi Hijau (Koprabuh) yang kini dianggap spektakuler.

Pertama, menjanjikan hasil pohon jadi 100 persen.

Kedua, ditargetkan mampu menanam seluas lahan kosong nasional.

Ketiga, dibiayai dengan terobosan kripto kurensi tanpa dana APBN yang bahkan menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat yakni petani, pemilik uang kripto dan pemerintah.

Uang kripto Nusaku yang dirancang khusus memiliki misi penanaman pohon adalah uang kripto asli milik Indonesia.

Baca juga: Deklarasi Peduli Hutan 22222 Miliki Arti sangat Strategis bagi Kelestarian Fungsi Hutan

Yohanis C. Walean adalah pemilik dan penggagas Nusaku Koin menekankan target yang tidak ambisius bila akan mampu menghutankan kembali seluruh hutan dan tanah kosong nasional dalam 15 hingga 18 tahun.

“Dengan biaya penanaman pohon yang cukup sekitar Rp62,5 juta per hektare sampai Rp125 juta per hektare tidak mustahil hutan hijau akan terwujud,” tegas Yohanis, Kamis (17/2/2022).

Sementara Dr. Transtoto Handadhari, Ketua Umum YPHI dalam kesempatan terpisah memberikan alasan.

“Tidak heran biaya tanam pohon yang berkisar Rp3 juta hingga Rp10 juta per hektare tidak bisa menjamin tumbuhnya pohon apalagi yang berkualitas.”

“Murahnya biaya tanam hutan akan rawan kerusakan maupun tidak dilakukannya perawatan pohon di usia paska tanam.”

“Hutan dan lahan sulit direhabilitasi, serta mendorong biaya tanam dobel dengan waktu menanam jadi lebih panjang karena seringkali terjadi pengulangan menanam, termasuk pengutamaan tanaman tumpangsari dibandingkan tanaman kayu keras oleh petani,” Transtoto, rimbawan KAGAMA yang juga mantan Direktur Utama Perum Perhutani itu memastikan. (*)